Langsung ke konten utama

tuma'ninah, musyahadah dan ma'rifat


PEMBAHASAN

A. Tuma’ninah الطمأنينة )
Secara bahasa tuma’ninah berarti tenang dan tentram. Tidak ada rasa was-was atau kawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Thuma’ninah adalah suasana ketentraman hati karena terpengaruh oleh sesuatu yang lain. Menurut al-Sarraj tuma’ninah sang hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya dan bersih ingatannya. Seseorang yang telah mendapatkan hal ini sudah dapat berkomunikasi langsung dengan Allah SWT. Menurut ibnu Qayyim, “kebenaran adalah identik dengan ketentraman, sedangkan kebohongan adalah identik dengan keraguan dan kegelisahan.” Nabi juga bersabda, kebenaran adalah sesuatu yang menenangkan hati.
Thuma’ninah
Waktu shalat adalah waktu singkat yang sangat berharga bagi seorang muslim, karena ia sedang menghadap dan bermunajahat kepada Rabbnya yang Maha Tinggi dan Maha Tinggi dan Maha Agung oleh karena itu hendaknya berusaha untuk meninggalkan segala kesibukan duniawi dan menghadapkan wajah kita kepada Allah dengan penuh khusyu’ dan tunduk mengharapkan keridhoan-Nya akan tetapi banyak diantara kita yang merasakan hilangnya atau berkurangnya khusyu’ dalam shalat kita, dan hal itu dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu:
  1.  Karena tidak memahami makna do’a-do’a dan bacaan yang ada dalam shalat.
  2.  Tidak merenungi isi dan kandungan shalat kita.
  3. Banyaknya beban pikiran atau urusan yang belum terselesaikan ketika ia hendak melakukan sholat.
  4.  Tidak menghadirkan hati dan jiwa ketika mula takbiratul ihram.
  5.  Tidak menghadirkan kesadaran bahwa diri sedang berhadapan dengan Allah SWT.
  6.  Seringkali tidak tukmaninah dalam shalat.

Thuma’ninah adalah rukun shalat, tanpa melakukannya shalat menjadi tidak sah. Rasulullah bersabda: 

“Tidak sha sholat seseorang, sehingga ia menegakkan (meluruskan) punggungnya ketika ruku’ dan sujud”.

Abu Abdillah Al-Asy’ari r.a berkata: 

“(Suatu ketika) Rasulullah SAW shalat bersama sahabatnya, kemudian beliau duduk bersama sekelompok dari mereka. Tiba-tiba seorang laki-laki masuk masjid dan berdiri menunaikan sholat. Orang itu ruku’ dan sujud seperti orang yang mematuk, maka Rasulukkah SAW bersabda ”Apakah kalian menyaksikan orang ini?, barang siapa meninggal dunia dalam keadaan seperti itu (sholatnya), maka dia meninggal dalam keadaan diluar agama Muhammad. Ia mematuk dalam shalatnya sebagaimana burung gagak mematuk darah. Sesungguhnya perumpamaan orang yang shalat dan mematuk dalam sujudnya bagaikan orang lapar yang tidak makan kecuali sebutir atau dua butir kurma, bagaimana ia merasa cukup (kenyang) dengannya”. 

Orang yang tidak thu’maninah dalam shalat, sedang ia mengetahuihukumnya, maka wajib baginya mengulangi shalatnya seketika dan bertaubat atas shalat-shalat yang dia lakukan tanpa thu’maninah pada masa lalu. Ia tidak wajib mengulang sholatnya dimasa lalu . 
Ada beberapa faktor yang membuahkan kekhusyu’an dalam Shalat
1. Bersiap diri untuk menunaikan shalat.
2. Thuma’ninah dalam shalat.
3. Mengingat mati ketika shalat.
4. Merenungkan ayat atau dzikir yang diucapkan dalam shalat.
5. Membaca seayat demi seayat
6. Membaca dengan tartil dan membaguskan bacaan
7. Merasakan bahwa Allah menjawabnya ketika shalat.
8. Shalat menghadap dan mendekat ke arah sutrah atau pembatas.
9. Meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri daiats dada.
10. Memandang ketempat sujud .



B. Musyahadah (المشاهدة ))

Dari segi bahasa musyahadah itu berasal dari rumpun kata Syahida shaahadah yang mempunyai arti bersaksi, menyaksikan, oleh karena itu seseorang belum dapat untuk dikatakan sebagia seorang islam jika orang tersebut belum menyatakan akan dua kalimat syahadah.didalam bermusyahadah ini juga sangatlah dibutuhkan sebab segala peristiwa atau kejadian itu yang pertama ditanyakan adalah adanya penyaksian atau saksi. Untuk penyaksian ini lebih tinggi tingkatannya dari yang kedua tadi.
Akan tetapi kata musyahadah disini berarti menyaksikan, yang berartikan bahwa suatu pandangan batin sebagai suatu penyaksian yang tidak diragukan lagi. Untuk mencapai tingkatan musyahadah ini seseorang harus terlebih dahulu bersungguh-sungguh dengan sepenuh hati demi untuk mengamalkan akan ajaran-ajaran tasawuf untuk meningkatkan maqam berikutnya. Didalam pengertian musyahadah seseorang yang terjun didunia sufi rasanya sulit untuk mencapai pada tingkatan musyahadah ini tanpa adanya usaha atau niat sungguh-sungguh.
Dalam perspektif tasawuf musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat dengan mata kepala. Hal ini berarti dalam dunia tasawuf seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya. Musyahadah dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan hamba dengan Allah. Dalam pandangan al-Makki, musyahadah juga berarti bertambahnya keyakinan yang kemudian bersinar terang karena mampu menyingkap yang hadir (di dalam hati). Seorang sufi yang telah berada dalam hal musyahadah merasa seolah-olah tidak ada lagi tabir yang mengantarainya dengan Tuhannya sehingga tersingkaplah segala rahasia yang ada pada Allah.
Musyahadah itu adalah nampaknya Allah Swt pada hambanya dimana seorang hamba itu tidak melihat apapun didalam beribadah itu adalah dalam pengertian umum, melainkan dia hanyalah berkeyakinan bahwa dirinya telah berhadapan langsung dengan Allah swt. Oleh karena dia tidak lagi memperhatikan apa apa didalam beribadah, karena saking asyiknya dia berkeyakinan bahwa Allah telah berada disampingnya, maka dirinya sendiri tidak di hiraukan lagi. Berpijak dari uraian diatas tersebut bahwa sesungguhnya musyahadah itu merupakan tindak lanjut dari ajaran ihsan yang telah mengajarkan mengenai konsep ibadah yang sesungguhnya dengan satu ukuran, “seakan akan seorang hamba itu benar benar melihat Allah Swt atau Allah Swt
Jarir bin Abdullah berkata

قَالَ جَرِيرُ بْنُ عَبْدِالهِ كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ إِذْ نَظَرَ إِلَى الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ فَقَالَ أَمَا إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا لاَ تُضَامُّونَ أَوْ لاَ تُضَاهُونَ فِي رُؤْيَتِهِ فَإِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ لاَ تُغْلَبُوا عَلَى صَلاَةٍ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا فَافْعَلُوا ثُمَّ قَالَ فَ ( سَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا ) (كتاب :كتاب مواقيت الصلاة باب :باب فضل صلاة الفجر رقم الحديث :547 الجزء :1 الصفحة 209 ,صحيح البخاري

Jarir bin Abdullah berkata: “Kami duduk bersama Rasulullah, kemudian beliau memandang bulan yang sedang purnama, lalu beliau bersabda: ”Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhanmu sebagaimana engkau melihat bulan, tidak ada yang menghalangimu untuk melihat-Nya, kalau kamu mampu tidak meninggalkan shalat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya maka lakukannlah. [HR.Bukhari Muslim] 

C. MA’RIFAT

istilah ma’rifatullâh, yang secara bahasa berarti mengenal Allâh Azza wa Jalla , termasuk istilah yang cukup populer di kalangan kaum Muslimin. Karena semua yang beriman sepakat meyakini bahwa mengenal Allâh Azza wa Jalla dan mencintai-Nya merupakan kewajiban dan tuntutan yang paling utama dalam Islam. Bahkan istilah ma’rifatullâh selalu diidentikkan oleh para Ulama Ahlus Sunnah dengan kesempurnaan iman dan takwa pada Allah Azza wa Jalla. 

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sesungguhnya yang takut kepada Allâh diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu (mengenal Allâh Azza wa Jalla )” [Fâthir/35:28].
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Semakin bertambah pengetahuan seorang hamba tentang Allâh Azza wa Jalla, maka semakin bertambah pula rasa takut dan pengagungan hamba tersebut kepada-Nya…, yang kemudian pengetahuannya ini akan mewariskan perasaan malu, pengagungan, pemuliaaan, merasa selalu diawasi, kecintaan, bertawakal, selalu kembali, serta ridha dan tunduk kepada perintah-Nya.”
Mengenal Allah ini bukan Mengenal melalui panca indera, karena Dia tidak dapat dicapai oleh Panca indera, sebagaimana firman-Nya: Dia tidak dapat dicapai oleh Mata.(Qs. Al An`am 6:103). Mengenal Allah juga bukan dengan Akal fikiran, karena Dia pun tidak tercapai dengan akal fikiran. sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW; Tafakkaru fi alaillah wa la tafakkaru fi Dzatillah azza wa jalla / Berfikir-fikirlah perihal tanda-tanda kebesaran Allah (ciptaan Allah), dan jangan berfikir-fikir terhadap Dzat Allah.(HR. Thabrani, Baihaqi, Bukhari, Nasai, Hakim, Abu Nuaim). Dan Firman Allah; Dan Allah memperingatkan kamu dari (memikirkan) Diri-Nya.
Jadi Ma’rifatullah disini adalah dengan Hati, karena Hanya Hatilah yang mampu menerima Pandangan Allah, sehingga Hati Mendapatkan Cahaya Allah, dan Hati tidak dapat mendustakan apa telah dilihatnya. 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ 
عَنْ الشِّرْكِ؛ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي، تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ”.
(رواه مسلم (وكذلك ابن ماجه

Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a, beliau berkata, Telah bersabda Rasulullah SAW, “Telah berfirman Allah tabaraka wa ta’ala (Yang Maha Suci dan Maha Luhur), Aku adalah Dzat Yang Maha Mandiri, Yang Paling tidak membutuhkan sekutu; Barang siapa beramal sebuah amal menyekutukan Aku dalam amalan itu, maka Aku meninggalkannya dan sekutunya”
~ Diriwayatkan oleh Muslim (dan begitu juga oleh Ibnu Majah)
Adalah juga termasuk syirik jika seseorang beramal dengan amalan disamping ditujukan kepada Allah SWT juga ditujukan kepada yang selain-Nya. 

daftar pustaka

Fahd At Tuwim, Khusyuk dan Tuma’ninah dalam Shalat, id_submissiveness_in_prayer.pdf, 14/12/17

Syaikh Muhammad Shaleh Al-Munajjid, 33 faktor yang membuahkan kekhusyuan dalam shalat, id_ways_of_developing_khushoo_in_salaah.pdf, 14/12/17
Sumber lain:
https://almanhaj.or.id/3891-marifatullah-gerbang-utama-menuju-kesempurnaan-iman-kepada-allah-azza-wa-jalla-1.html
http://kalibarru.blogspot.co.id/2014/02/hadist-hadist-marifatullah.html
http://jibbyfm.blogspot.co.id/p/contoh-hadits-qudsi.html


Komentar

Postingan populer dari blog ini

shuhbah, futuwah dan itsar

keutamaan shuhbah, futuwah dan itsar BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Sahabat adalah orang yang bertemu langsung dengan Rasulullah SAW, sehingga dalam   pembahasan ilmu hadist, para sahabat sangat berperan eksistensinya. Karena para sahabat   merupakan orang yang pertama langsung bertemu dengan Rasul dan hidup di zaman Rasulullah saw., Para sahabat inilah yang meriwayatkan hadist, sebab dia mendengar dan melihat perbuatan apa yang Rasulullah lakukan di zaman hidupnya. Para sahabat sangat berperan sebagai pengganti yang melanjutkan tugas Rasulullah Saw., setelah rasul wafat. Mereka melakukan penyebaran dakwah dengan segala resiko dan tantangan yang harus dihadapinya. Sahabat Rasulullah merupakan generasi yang paling mulia, karena mereka menerima pendidikan secara langsung dari Rasulullah Saw., disamping terdidik dalam suasana wahyu, mereka pula yang menjaga sunnah Rasulullah terpelihara. Sehingga dapat sampai dan berekembang kepad...

MANUSIA MAKHLUK BI-DIMENSIONAL

MANUSIA MAKHLUK BI-DIMENSIONAL Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Bimbingan Konseling Dosen Pengampu : Prof. Dr. H.M Amin Syukur, M.A. JURUSAN TASAWUF PSIKOTERAPI FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2017 BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Manusia merupakan satu bagian dari alam semesta yang bersama-sama dengan makhluk hidup lainnya mengisi kehidupan di alam semesta ini. Dibandingkan dengan binatang, manusia memiliki fungsi tubuh dan fisiologis yang tidak berbeda. Namun, dalam hal yang lain manusia tidak dapat disamakan dengan binatang, terutama dengan kelebihan yang dimilikinya, yakni akal, yang tidak dimiliki oleh binatang. Para ahli ilmu pengetahuan tidak memiliki kesamaan pendapat mengenai manusia. Perbedaan pendapat ini disebabkan oleh adanya kekuatan dan peran multidimensional yang diperankan oleh manusia. Mereka melihat manusia hanya...