MANUSIA MAKHLUK BI-DIMENSIONAL
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Bimbingan Konseling
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H.M Amin Syukur, M.A.
JURUSAN TASAWUF PSIKOTERAPI
FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia
merupakan satu bagian dari alam semesta yang bersama-sama dengan makhluk hidup
lainnya mengisi kehidupan di alam semesta ini. Dibandingkan dengan binatang,
manusia memiliki fungsi tubuh dan fisiologis yang tidak berbeda. Namun, dalam
hal yang lain manusia tidak dapat disamakan dengan binatang, terutama dengan
kelebihan yang dimilikinya, yakni akal, yang tidak dimiliki oleh binatang. Para
ahli ilmu pengetahuan tidak memiliki kesamaan pendapat mengenai manusia.
Perbedaan pendapat ini disebabkan oleh adanya kekuatan dan peran
multidimensional yang diperankan oleh manusia. Mereka melihat manusia hanya
dari satu aspek saja, padahal aspek yang ada cukup banyak. Karena itulah hasil
pengamatan mereka tentang manusia berbeda-beda antar satu dengan lainnya.
Perbedaan
aspek ini pula yang kemudian melahirkan berbagai disiplin ilmu yang terkait
dengan manusia. Para ahli juga memberikan sebutan yang berbeda-beda untuk
manusia. Ada yang menyebut manusia sebagai homo sapiens (binatang yang
berpikir), homo volens (binatang yang berkeinginan), homo mechanicus (binatang
yang mekanis), dan homo ludens (binatang yang bermain). Sebutan-sebutan seperti
ini dapat dipelajari dalam ilmu psikologi dalam berbagai aliran yang ada. Tentu
saja dalam disiplin ilmu yang lain, seperti sosiologi, antropologi, dan
biologi, sebutan atau pensifatan yang diberikan kepada manusia juga
berbeda-beda.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud manusia dan apa
itu bi-dimensional?
2.
Bagaimanakah manusia makhluk
bi-dimensional itu?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Manusia
1. Ludwing
Binswanger: Manusia adalah makhluk yang mempunyai kemampuan untuk mengada,
suatu kesadaran bahwa ia ada dan mampu mempertahankan adanya di dunia.[1]
2. Thomas
Aquinas: Manusia adalah suatu substansi yang komplit yang terdiri dari badan
dan jiwa.[2]
3. Marx:
Manusia adalah entitas yang dapat dikenali dan diketahui.[3]
4. Spinoza,
Goethe, Hegel, dan Marx: Manusia adalah makhluk hidup yang harus produktif,
menguasai dunia di luar dirinya dengan tindakan mengekpresikan kekuasaan manusiawinya
yang khusus, dan menguasai dunia dengan kekuasaannya. Karena manusia yang tidak
produktif adalah manusia yang reseptif dan pasif, dia tidak ada dan mati.[4]
5. Betrand
Russel: Manusia adalah maujud yang diciptakan dalam keadaan bersifat mencari
keuntungannya sendiri.[5]
6. Jujun
S. Suriasumantri: Manusia adalah makhluk yang mempunyai kedudukan among
(unique) di dalam ekosistem, namun juga amat tergantung pada ekosistem itu dan
ia sendiri bahkan merupakan bagiannya.[6]
Pengertian Manusia
Secara Mendalam
a. Manusia
Terdiri dari Jiwa dan Raga
Menurut
Augustinus,[7]
bahwa badan dan jiwa adalah dua perkara yang sangat berbeda satu sama lain,
sebab kalau yang pertama (badan), maka yang kedua (jiwa) sifatnya yang khas
satu-satunya ialah berpikir. Karena itu perasaan dan pengenalan terhadap jiwa
bersifat langsung, karena pikiran tidak memerlukan perantara dalam mengenal
dirinya sendiri. Selama jiwa itu berpikir, maka artinya ia ada, karena
pemikirannya sama benar dengan wujudnya. Seseorang bisa melepaskan diri dari
badannya, dan dari alam luar dengan segala peristiwa-peristiwanya, serta
mengingkari segala macam kebenaran, dan meragukan segala sesuatu. Namun
seseorang tidak bisa melepaskan diri sama sekali dari jiwanya yang menjadi
sumber keraguan dan pemikirannya itu.[8]
Ibnu
Sina,[9]
sependapat dengan Aristoteles, yaitu tentang kesempurnaan tubuh organik yang
memberi kekuatan hidup. Perkataan sempurna disebut dalam bahasa latin dengan
actus primus dan dalam bahasa arab disebut dengan kamil. Aristotoeles
mengatakan, bahwa jiwa itu termasuk bentuk tubuh, akan tetapi Ibnu Sina
membaginya dengan tiga jenis, yaitu kekuatan, bentuk dan sempurna. Kalau jiwa
itu dipandang kepada tindakannya, ia bernama kekuatan, dan kalau jiwa disebut
sempurna, ia dipandang sebagai peri manusia. Untuk memahamkan filsafat Ibnu
Sina tentang ilmu jiwa, harus dirasakan dalam pikiran, bahwa yang dikatakan
sempurna, tidak sama dengan sempurna yang dimaksudkan oleh Aristoteles sebagai
actus primus.
Pokok
kesukaran yang terbesar yang dihadapi Ibnu Sina adalah dalam soal membedakan
antara jiwa dan akal. Meskipun jiwa itu tidak dapat diserupakan dengan akal,
akan tetapi yang sebenarnya akal itu bagian dari jiwa. Menurut teori Plotinus,
jiwa adalah limpahan dari akal. Himpunan dalam kitab-kitab Ibnu Sina dapat
disimpulkan bahwa akal adalah satu kekuatan yang terdapat dalam jiwa. Jiwa
adalah lebih bersifat umum dari pada akal: "jiwa baru bisa dinamakan jiwa
kalau jiwa bertindak dalam tubuh, kalau jiwa bertindak terpisah, maka jiwa itu
lebih banyak merupakan akal".
Aristoteles
membagi jiwa atas tiga jenis, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa hewan dan jiwa
manusia. Jiwa tumbuh-tumbuhan mempunyai tiga fungsi: makanan, tumbuh dan hasil.
Fungsi jiwa hewan adalah perasaan, yaitu penemuan perasaan khusus oleh berbagai
rasa dan gerakan yang ditimbulkan oleh kehendak atau kemauan. Jiwa manusia yang
disebutkan sebagai rational atau akal, adalah bekerja dengan suatu rencana alam
smesta, menghasilkan tujuan-tujuan dengan pemilihan akal dan pemikiran. Kekuatan perasaan ada dua macam pula,
pertama, menerima perasaan dari luar. Kekuatan ini dinamakan kekuatan panca
indera.[10]
Pengetahuan indera ialah, segala pengetahuan yang dapat diperoleh manusia lewat
kelima inderanya (panca indera), yakni: mata, hidung, perasaan (kulit), telinga
dan lidah.[11]
Kebanyakan
ahli filsafat Yunani berpendapat, bahwa roh itu merupakan satu unsur yang halus
yang dapat meninggalkan badan, jika roh pergi dari badan, dia kembali ke
alamnya yang tinggi, meluncur ke angkasa luar dan tidak mati. Plato mengatakan,
bahwa roh itu adalah zat manusia itu sendiri, dia merupakan zat tersendiri di
samping badan dan badan bukan masuk hakikat roh dan tidak termasuk dalam
definisinya. Roh turun dengan paksa dari alam tinggi masuk ke dalam tubuh manusia.
Menurut
kadar kemampuannya, roh berusaha membersihkan dirinya dari kotoran-kotoran yang
menimpa padanya disebabkan roh melekat pada badan manusia, sedangkan kematian
itu merupakan sebagai jalan keluarnya untuk membersihkan diri dari
kotoran-kotoran itu dan roh abadi.
Aristoteles berpendapat
sama, yakni roh itu merupakan badan halus tersendiri di samping badan lainnya,
dia wujud lebih dahulu dari pada wujud badan dan dia tidak mati setelah badan
mati.
Plotin
mengatakan: "kadang-kadang aku mengasingkan diri dari badanku, aku
memisahkan diri dari badan lahirku dan seakan-akan aku menjadi tanpa badan
lahir dan terus keluar dari sesuatu, maka aku melihat keindahan dan keagungan
yang menakjubkan, maka aku mengerti bahwa aku (roh) ini termasuk dari bagian alam
tertinggi dan mulia.[12]
Kemuliaan ini karena roh adalah zat yang menjadi sumber kehidupan manusia yang
bersih, halus dan harus dijaga dengan menggunakan akal dan ilmu pengetahuan,
sehingga manusia akan menjadi makhluk yang sempurna.
b. Nafs
Berhubungan dengan masalah rohani, dalam pemikiran islam, rohani memiliki
unsur: (1).Akal, (2),Nafs (3),Qalbu, (4)Roh. Masing - masing organ tersebut di
atas mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Nafsu adalah salah satu organ manusia
yang paling banyak perannya, dalam rangka agar manusia melakukan tindakan.
Nafsu terdiri dari: (a) Nafsu ammarah, (b) Nafsu lawwamah, (c) Nafsu
muthmainnah, (d) Nafsu mulhamah, (e) Nafsu musawwalah, (f) Nafsu radliyah, (g)
Nafsu mardliyah, (h) Nafsu kamilah.[13]
Hawa nafsu memang selalu mengajak ke arah maksiat, kesia-siaan dan condong
untuk memuaskan diri pada kehidupan duniawi. Allah selalu menekankan terhadap
hamba-Nya agar takut kepada-Nya dan tidak memperturutkan hawa nafsu.[14]
Menurut Tahir Azhary, ada tiga sifat
hukum Islam, yang pertama yaitu bidimensional, artinya mengandung segi
kemanusiaan dan segi ketuhanan (Ilahi). Di samping sifat bidimensional yang
dimiliki, hukum Islam juga berhubungan dengan sifatnya yang luas atau
komprehensif. Hukum Islam tidak hanya mengatur satu aspek kehidupan saja,
tetapi mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Sifat bidimensional merupakan
sifat pertama yang melekat pada hukum Islam dan merupakan fitrah (sifat asli)
hukum Islam.
B.
Manusia Makhluk
Bi-dimensional
Pada hakekatnya manusia terdiri
atas 2 unsur yaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Unsur jasmani yaitu segala sesuatu pada manusia yang berupa bentuk fisik.
Sedangkan unsur rohani adalah manusia pada intinya diciptakan dengan dilengkapi
ar-ruh, aql, qalb, dan nafs. Allah berfirman dalam surat yang
lain tentang manusia yang mempunyai dua unsur yaitu jasmani dan rohani.
dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:
"Sesungguhnya aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering
(yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk, Maka apabila aku telah
menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku,
Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud (Qs; Al-hijr;28-29)
Dua unsur dasar (bahan baku) itu selalu mempengaruhi perkembangan hidup
setiap manusia. Keduanya menuntut pemenuhan atas segala kebutuhannya. Bahan
baku yang bersifat materi membutuhkan pemenuhan materi, seperti makan, minum,
tempat tinggal, seks, dan lain sebagainya. Sama dengan bahan baku yang bersifat ruhani, seperti motivasi dan
pemberian semangat, nasihat, ibadah, dzikir, dan lain sebagaianya.
Dalam pemenuhan kebutuhan tersebut harus seimbang, sebab jika tidak
seimbang maka kehidupannya akan
kacau, tidak seimbang. Kebutuhan makan dan gizi tidak dipenuhi, akan membuatnya
lemas tak berdaya. Kebutuhan keimanan akan tuhan tidak dipenuhi, akan membuat
seseorang tanpa control dan ketika terbentur, maka ia akan pendek akal lalu
menempuh jalan pintas, bunuh diri, dan sebagainya
Empat Pandangan tentang Fitrah
Manusia
Menurut Yasien Muhammad, pemahaman tentang konsep
Fitrah manusia dapat dikelompokan menjadi empat :
a) Pandangan
Fatalis
Pandangan
ini menganggap bahwa setiap individu melalui ketetapan Allah SWT. Adalah baik
atau jahat secara asal, karena ketetapan semacam ini terjadi secara semuanya
atau sebagian sesuai dengan rencana tuhan. Al-azhari menyatakan bahwa sifat
dasar yang tidak berubah dari fitrah berkaitan dengan nasib seorang untuk masuk
surga dan neraka. Dengan demikian, tanpa memandang faktor-faktor eksternal dari
petunjuk dan kesalahan petunjuk, seorang individu terikat oleh kehendak Allah
untuk menjalani kehidupannya yang telah ditetapkanya baginya sebelumnya.
b)
Pandangan Netral
Bahwa anak
lahir dalam keadaan suci dan kosong sebagaimana adanya, tanpa kesadaran iman
atau kufur. Mereka lahir dalam keadaan kosong baik yang baik maupun yang jahat.
Dia akan memperoleh pengetahuan tentang benar dan salah, jahat dan baik, benar
dan buruk itu dari lingkungan eksternal.
c)
Pandangan Positif
Menurut Ibnu
Taymiyah semua anak terlahir dalam keadaan fitrah, yaitu dalam keadaan
kebajikan bawaan, dan lingkungan sosialah yang menyebabkan individu menyimpng
dari keadaan ini.
d)
Pandangan Dualis
Pandangan
ini dikemukakan oleh Sayyid Qutbh dan Ali Syari’ati, yaitu penciptaan manusia
membawa suatu sifat dasar yang bersifat ganda. Dua unsur tersebut yaitu tanah
dan ruh mengakibatkan kebaikan dan kejahatan sebagai suatu kecendrungan yang
setara pada diri manusia. Syari’ati berpendapat bahwa tanah adalah simbol
terendah dari kehinaan, digabungkan dengan Ruh dari Allah. Dengan demikian
manusia adalah makhluk yang berdimensi ganda. Tersusun dari dua kekuatan tapi
kekuatan itu berlwanan yaitu yang satu cenderung ke materi dan yang lain
cenderung naik kepada Ruh suci dari Allah SWT.
Tujuan
Penciptaan Manusia
Setidaknya ada dua tujuan hidup yang
harus dilakukan oleh manusia :
1.
Abdullah
Abdullah atau mengabdi kepada Allah,
adalah bentuk penyerahan diri secara total kepada Allah dengan melaksanakan apa
yang menjadi perintahnya dan apa yang menjadi laranganya.
2.
Khalifah di Bumi
Menurut M. Dawam Rahadjo menuturkan,
khalifah adalah fungsi manusia yang mengemban Amanat dari Tuhan kepada manusia,
yang tidak lain adalah meberi pelayanan terhadap sesama makhluk. Didalam surat
Al-baqarah dijelaskan : ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para
Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi."
Diliat dari segi penciptaanya, manusia adalah
makhluk Bi-Dimensional alias makhluk yang memiliki dua dimensi, yakni (1)
dimensi fisik/ jasadi dan (2) dimensi psikis/ruhani.
1.
Unsur fisik/ jasadi
-> kualitas rendah
Dimensi yang pertama bisa disebut dimensi kerendahan. Karena terkait sama
dimensi jasadiah, fisik. Jadi maknanya adalah, manusia yang mengandalkan kepada
elemen-elemen fisik, sebetulnya dia sedang menuju kepada kerendahan. Fisik kita
itu, alih-alih mengalami perbaikan kualitas, dari hari ke hari itu justru makin
menurun. Mungkin sekarang kita belum bisa ngerasain. Tetapi cepat atau lambat,
akan datang satu hari di mana tulang kita ga akan lagi sanggup menopang tubuh
kita, sekeras apapun kita olahraga hari ini. Akan datang satu hari dimana kulit
kita menjadi keriput, sesering apapun kita melakukan perawatan hari ini.
Singkat kata, fisik kita ini dibuat dari elemen bahan baku yang rendah,
tanah. Makanya kemudian, manusia itu dihina sama iblis karena fisiknya: “Sesungguhnya
Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami
katakan kepada Para Malaikat: “Bersujudlah kamu kepada Adam”, Maka merekapun
bersujud kecuali Iblis. Dia tidak Termasuk mereka yang bersujud. Allah
berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu aku
menyuruhmu?” Menjawab Iblis “Saya lebih baik daripadanya:
Engkau ciptakan saya dari api sedang Dia Engkau ciptakan dari tanah.”
(QS. Al-A’raaf: 11-12)
Jadi, manusia yang mau meningkatkan kualitas dirinya dengan bermodalkan
kepada elemen-elemen fisik, jasadi, duniawi, maka sesungguhnya dia sedang
mengumpulkan kehampaan-kehampaan. Semua yang berkaitan sama duniawi, itu fana.
Itu adalah dimensi pertama manusia dimensi kehinaan, apabila dia menumpukkan
kebahagiaannya itu pada aspek yang bersifat fisik.
2.
Unsur psikis/rohani
->kualitas tinggi
Dimensi psikis atau dimensi rohani. Dimensi kedua inilah yang punya
potensi bisa bawa manusia ke arah kemuliaan. Dalam aspek ini, manusia adalah
satu-satunya makhluk Allah yang ditiupkan ruh kedalam dirinya. Ditiupkan kesana
ruh ilahiyyah. Makanya sifat-sifat Allah ada juga dalam diri manusia.
Lalu apa yang bikin beda? Allah itu Maha Pengasih, Maha penyayang,
manusia juga kayak gitu, tapi kasih sayang manusia itu kan terbatas. Inilah
yang mesti kita maksimalin buat mencapai kesempurnaan sebagai manusia.
Allah itu Maha Mengetahui, tapi manusia cuma mengetahui, terbatas. Maka
optimalkanlah pengetahuan yang terbatas itu sama bimbingan wahyu, baru kemudian
disitulah kita bakal optimal sebagai manusia.
Singkat kata, kemuliaan manusia itu ada pada dimensi-dimensi illahiyah
dan itulah yang harus dioptimalisasi. Maka manusia insan kamil, manusia yang
ideal, adalah manusia yang memiliki kecenderungan theomorfis. Manusia yang bisa
merefleksikan dimensi-dimensi ilahiyyah. Jadi kemuliaan manusia itu terletak
pada unsur ruhani, dalam artian ketika ia mampu mengoptimalisasi dimensi
ilahiyyah yang ada di dalam dirinya. Karena semua makhluk Allah Swt. itu sudah
permanen, tetap, tidak akan berubah. Cuma manusia satu-satunya makhluk yang bisa
berubah, bisa berhenti sebagai manusia.Diliat dari segi penciptaanya, manusia
adalah makhluk Bi-Dimensional alias makhluk yang memiliki dua dimensi, yakni
(1) dimensi fisik/ jasadi dan (2) dimensi psikis/ruhani.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hakekatnya manusia terdiri atas
2 unsur yaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Unsur jasmani yaitu segala sesuatu pada manusia yang berupa bentuk fisik.
Sedangkan unsur rohani adalah manusia pada intinya diciptakan dengan dilengkapi
ar-ruh, aql, qalb, dan nafs. Diliat dari segi
penciptaanya, manusia adalah makhluk Bi-Dimensional alias makhluk yang memiliki
dua dimensi, yakni (1) dimensi fisik/ jasadi dan (2) dimensi psikis/ruhani.
Dimensi yang pertama bisa disebut dimensi
kerendahan. Karena terkait sama dimensi jasadiah, fisik. Jadi maknanya adalah,
manusia yang mengandalkan kepada elemen-elemen fisik, sebetulnya dia sedang
menuju kepada kerendahan. Dimensi psikis atau dimensi rohani. Dimensi kedua
inilah yang punya potensi bisa bawa manusia ke arah kemuliaan. Ditiupkan kesana
ruh ilahiyyah. Makanya sifat-sifat Allah ada juga dalam diri manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Faried,
Ahmad. 1993. Menyucikan Jiwa Konsep Ulama
Salaf. Surabaya: Risalah Gusti.
Fromm,
Erich. 2001. Konsep Manusia Menurut Marx.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hadi,
Hardono. 1996. Jati Diri Manusia.
Yogyakarta: Kanisius.
Hanafi,
A.. 1969. Filsafat Islam. Jakarta:
Bulan Bintang.
Hoesin,
Oemar Amin. 1961. Filsafat Islam.
Jakarta: Bulan Bintang.
Suriasumantri,
Jujun S.. 2006. Ilmu Dalam Perspektif.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Syukur,
Suparman. 2004. Etika Religius.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Takwin,
Bagus. 2007. Psikologi Naratif Membaca
Manusia Sebagai Kisah. Yogyakarta.
Umar,
M. Ali Chasan. 1982. Manusia Siapa, Dari
Mana dan Kemana. Semarang: Toha Putra.
[1] Bagus
Takwin, Psikologi Naratif Membaca Manusia
Sebagai Kisah, Yogyakarta: 2007, hlm. 4.
[2] Hardono
Hadi, Jati Diri Manusia, Yogyakarta:
Kanisius, 1996, hlm. 33.
[3] Erich
Fromm, Konsep Manusia Menurut Marx,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 33.
[4] Ibid.,
hlm. 39.
[5] Suparman
Syukur, Etika Religius, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 231.
[6] Jujun S.
Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, hlm. 237.
[7] Augustinus
adalah seorang teolog Kristen terbesar terakhir sebelum abad gelap dan karya
tulisannya membuahkan doktrin gereja dalam semua garis besarnya dan dalam
bentuk kasarnya sepanjang abad pertengahan dia adalah orang paling menonjol
dari para pendiri gereja latin.
[8] A.
Hanafi, Filsafat Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1969, hlm. 141-142.
[9] Nama
lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin
Sina. Dikalangan masyarakat barat ia dikenal dengan nama “Avicienna”. Selain
sebagai ahli kedokteran, Ibnu Sina juga dikenal sebagai filosof, psikolog,
pujangga, pendidik dan sarjana Muslim yang hebat.
[10] Oemar
Amin Hoesin, Filsafat Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1961, hlm. 135-136
[11] Miska
Muhammad Amien, Op.cit., hlm. 32
[12] M. Ali
Chasan Umar, Manusia Siapa, Dari Mana dan
Kemana, Semarang: Toha Putra, 1982, hlm.
223-224
[14] Ahmad
Faried, Menyucikan Jiwa Konsep Ulama
Salaf, Surabaya: Risalah Gusti, 1993, hlm. 70
Komentar
Posting Komentar