Langsung ke konten utama

MANUSIA MAKHLUK BI-DIMENSIONAL


MANUSIA MAKHLUK BI-DIMENSIONAL
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Bimbingan Konseling
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H.M Amin Syukur, M.A.



JURUSAN TASAWUF PSIKOTERAPI
FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia merupakan satu bagian dari alam semesta yang bersama-sama dengan makhluk hidup lainnya mengisi kehidupan di alam semesta ini. Dibandingkan dengan binatang, manusia memiliki fungsi tubuh dan fisiologis yang tidak berbeda. Namun, dalam hal yang lain manusia tidak dapat disamakan dengan binatang, terutama dengan kelebihan yang dimilikinya, yakni akal, yang tidak dimiliki oleh binatang. Para ahli ilmu pengetahuan tidak memiliki kesamaan pendapat mengenai manusia. Perbedaan pendapat ini disebabkan oleh adanya kekuatan dan peran multidimensional yang diperankan oleh manusia. Mereka melihat manusia hanya dari satu aspek saja, padahal aspek yang ada cukup banyak. Karena itulah hasil pengamatan mereka tentang manusia berbeda-beda antar satu dengan lainnya.
Perbedaan aspek ini pula yang kemudian melahirkan berbagai disiplin ilmu yang terkait dengan manusia. Para ahli juga memberikan sebutan yang berbeda-beda untuk manusia. Ada yang menyebut manusia sebagai homo sapiens (binatang yang berpikir), homo volens (binatang yang berkeinginan), homo mechanicus (binatang yang mekanis), dan homo ludens (binatang yang bermain). Sebutan-sebutan seperti ini dapat dipelajari dalam ilmu psikologi dalam berbagai aliran yang ada. Tentu saja dalam disiplin ilmu yang lain, seperti sosiologi, antropologi, dan biologi, sebutan atau pensifatan yang diberikan kepada manusia juga berbeda-beda.  

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud manusia dan apa itu bi-dimensional?
2.      Bagaimanakah manusia makhluk bi-dimensional itu?








BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Manusia
1.      Ludwing Binswanger: Manusia adalah makhluk yang mempunyai kemampuan untuk mengada, suatu kesadaran bahwa ia ada dan mampu mempertahankan adanya di dunia.[1]
2.      Thomas Aquinas: Manusia adalah suatu substansi yang komplit yang terdiri dari badan dan jiwa.[2]
3.      Marx: Manusia adalah entitas yang dapat dikenali dan diketahui.[3]
4.      Spinoza, Goethe, Hegel, dan Marx: Manusia adalah makhluk hidup yang harus produktif, menguasai dunia di luar dirinya dengan tindakan mengekpresikan kekuasaan manusiawinya yang khusus, dan menguasai dunia dengan kekuasaannya. Karena manusia yang tidak produktif adalah manusia yang reseptif dan pasif, dia tidak ada dan mati.[4]
5.      Betrand Russel: Manusia adalah maujud yang diciptakan dalam keadaan bersifat mencari keuntungannya sendiri.[5]
6.      Jujun S. Suriasumantri: Manusia adalah makhluk yang mempunyai kedudukan among (unique) di dalam ekosistem, namun juga amat tergantung pada ekosistem itu dan ia sendiri bahkan merupakan bagiannya.[6]
Pengertian Manusia Secara Mendalam
a.       Manusia Terdiri dari Jiwa dan Raga
Menurut Augustinus,[7] bahwa badan dan jiwa adalah dua perkara yang sangat berbeda satu sama lain, sebab kalau yang pertama (badan), maka yang kedua (jiwa) sifatnya yang khas satu-satunya ialah berpikir. Karena itu perasaan dan pengenalan terhadap jiwa bersifat langsung, karena pikiran tidak memerlukan perantara dalam mengenal dirinya sendiri. Selama jiwa itu berpikir, maka artinya ia ada, karena pemikirannya sama benar dengan wujudnya. Seseorang bisa melepaskan diri dari badannya, dan dari alam luar dengan segala peristiwa-peristiwanya, serta mengingkari segala macam kebenaran, dan meragukan segala sesuatu. Namun seseorang tidak bisa melepaskan diri sama sekali dari jiwanya yang menjadi sumber keraguan dan pemikirannya itu.[8]
Ibnu Sina,[9] sependapat dengan Aristoteles, yaitu tentang kesempurnaan tubuh organik yang memberi kekuatan hidup. Perkataan sempurna disebut dalam bahasa latin dengan actus primus dan dalam bahasa arab disebut dengan kamil. Aristotoeles mengatakan, bahwa jiwa itu termasuk bentuk tubuh, akan tetapi Ibnu Sina membaginya dengan tiga jenis, yaitu kekuatan, bentuk dan sempurna. Kalau jiwa itu dipandang kepada tindakannya, ia bernama kekuatan, dan kalau jiwa disebut sempurna, ia dipandang sebagai peri manusia. Untuk memahamkan filsafat Ibnu Sina tentang ilmu jiwa, harus dirasakan dalam pikiran, bahwa yang dikatakan sempurna, tidak sama dengan sempurna yang dimaksudkan oleh Aristoteles sebagai actus primus.
Pokok kesukaran yang terbesar yang dihadapi Ibnu Sina adalah dalam soal membedakan antara jiwa dan akal. Meskipun jiwa itu tidak dapat diserupakan dengan akal, akan tetapi yang sebenarnya akal itu bagian dari jiwa. Menurut teori Plotinus, jiwa adalah limpahan dari akal. Himpunan dalam kitab-kitab Ibnu Sina dapat disimpulkan bahwa akal adalah satu kekuatan yang terdapat dalam jiwa. Jiwa adalah lebih bersifat umum dari pada akal: "jiwa baru bisa dinamakan jiwa kalau jiwa bertindak dalam tubuh, kalau jiwa bertindak terpisah, maka jiwa itu lebih banyak merupakan akal". 
Aristoteles membagi jiwa atas tiga jenis, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa hewan dan jiwa manusia. Jiwa tumbuh-tumbuhan mempunyai tiga fungsi: makanan, tumbuh dan hasil. Fungsi jiwa hewan adalah perasaan, yaitu penemuan perasaan khusus oleh berbagai rasa dan gerakan yang ditimbulkan oleh kehendak atau kemauan. Jiwa manusia yang disebutkan sebagai rational atau akal, adalah bekerja dengan suatu rencana alam smesta, menghasilkan tujuan-tujuan dengan pemilihan akal dan pemikiran.   Kekuatan perasaan ada dua macam pula, pertama, menerima perasaan dari luar. Kekuatan ini dinamakan kekuatan panca indera.[10] Pengetahuan indera ialah, segala pengetahuan yang dapat diperoleh manusia lewat kelima inderanya (panca indera), yakni: mata, hidung, perasaan (kulit), telinga dan lidah.[11]
Kebanyakan ahli filsafat Yunani berpendapat, bahwa roh itu merupakan satu unsur yang halus yang dapat meninggalkan badan, jika roh pergi dari badan, dia kembali ke alamnya yang tinggi, meluncur ke angkasa luar dan tidak mati. Plato mengatakan, bahwa roh itu adalah zat manusia itu sendiri, dia merupakan zat tersendiri di samping badan dan badan bukan masuk hakikat roh dan tidak termasuk dalam definisinya. Roh turun dengan paksa dari alam tinggi masuk ke dalam tubuh manusia. 
Menurut kadar kemampuannya, roh berusaha membersihkan dirinya dari kotoran-kotoran yang menimpa padanya disebabkan roh melekat pada badan manusia, sedangkan kematian itu merupakan sebagai jalan keluarnya untuk membersihkan diri dari kotoran-kotoran itu dan roh abadi.
Aristoteles berpendapat sama, yakni roh itu merupakan badan halus tersendiri di samping badan lainnya, dia wujud lebih dahulu dari pada wujud badan dan dia tidak mati setelah badan mati.
Plotin mengatakan: "kadang-kadang aku mengasingkan diri dari badanku, aku memisahkan diri dari badan lahirku dan seakan-akan aku menjadi tanpa badan lahir dan terus keluar dari sesuatu, maka aku melihat keindahan dan keagungan yang menakjubkan, maka aku mengerti bahwa aku (roh) ini termasuk dari bagian alam tertinggi dan mulia.[12] Kemuliaan ini karena roh adalah zat yang menjadi sumber kehidupan manusia yang bersih, halus dan harus dijaga dengan menggunakan akal dan ilmu pengetahuan, sehingga manusia akan menjadi makhluk yang sempurna.  
b.      Nafs Berhubungan dengan masalah rohani, dalam pemikiran islam, rohani memiliki unsur: (1).Akal, (2),Nafs (3),Qalbu, (4)Roh. Masing - masing organ tersebut di atas mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Nafsu adalah salah satu organ manusia yang paling banyak perannya, dalam rangka agar manusia melakukan tindakan. Nafsu terdiri dari: (a) Nafsu ammarah, (b) Nafsu lawwamah, (c) Nafsu muthmainnah, (d) Nafsu mulhamah, (e) Nafsu musawwalah, (f) Nafsu radliyah, (g) Nafsu mardliyah, (h) Nafsu kamilah.[13] Hawa nafsu memang selalu mengajak ke arah maksiat, kesia-siaan dan condong untuk memuaskan diri pada kehidupan duniawi. Allah selalu menekankan terhadap hamba-Nya agar takut kepada-Nya dan tidak memperturutkan hawa nafsu.[14]
Menurut Tahir Azhary, ada tiga sifat hukum Islam, yang pertama yaitu bidimensional, artinya mengandung segi kemanusiaan dan segi ketuhanan (Ilahi). Di samping sifat bidimensional yang dimiliki, hukum Islam juga berhubungan dengan sifatnya yang luas atau komprehensif. Hukum Islam tidak hanya mengatur satu aspek kehidupan saja, tetapi mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Sifat bidimensional merupakan sifat pertama yang melekat pada hukum Islam dan merupakan fitrah (sifat asli) hukum Islam.
B.     Manusia Makhluk Bi-dimensional
Pada hakekatnya manusia terdiri atas 2 unsur yaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Unsur jasmani yaitu segala sesuatu pada manusia yang berupa bentuk fisik. Sedangkan unsur rohani adalah manusia pada intinya diciptakan dengan dilengkapi ar-ruh, aql, qalb, dan nafs. Allah berfirman dalam surat yang lain tentang manusia yang mempunyai dua unsur yaitu jasmani dan rohani.
dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk, Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud (Qs; Al-hijr;28-29)
Dua unsur dasar (bahan baku) itu selalu mempengaruhi perkembangan hidup setiap manusia. Keduanya menuntut pemenuhan atas segala kebutuhannya. Bahan baku yang bersifat materi membutuhkan pemenuhan materi, seperti makan, minum, tempat tinggal, seks, dan lain sebagainya. Sama dengan bahan baku yang bersifat ruhani, seperti motivasi dan pemberian semangat, nasihat, ibadah, dzikir, dan lain sebagaianya.
Dalam pemenuhan kebutuhan tersebut harus seimbang, sebab jika tidak seimbang maka kehidupannya akan kacau, tidak seimbang. Kebutuhan makan dan gizi tidak dipenuhi, akan membuatnya lemas tak berdaya. Kebutuhan keimanan akan tuhan tidak dipenuhi, akan membuat seseorang tanpa control dan ketika terbentur, maka ia akan pendek akal lalu menempuh jalan pintas, bunuh diri, dan sebagainya
Empat Pandangan tentang Fitrah Manusia
Menurut Yasien Muhammad, pemahaman tentang konsep Fitrah manusia dapat dikelompokan menjadi empat :
a)      Pandangan Fatalis
Pandangan ini menganggap bahwa setiap individu melalui ketetapan Allah SWT. Adalah baik atau jahat secara asal, karena ketetapan semacam ini terjadi secara semuanya atau sebagian sesuai dengan rencana tuhan. Al-azhari menyatakan bahwa sifat dasar yang tidak berubah dari fitrah berkaitan dengan nasib seorang untuk masuk surga dan neraka. Dengan demikian, tanpa memandang faktor-faktor eksternal dari petunjuk dan kesalahan petunjuk, seorang individu terikat oleh kehendak Allah untuk menjalani kehidupannya yang telah ditetapkanya baginya sebelumnya.
b)      Pandangan Netral
Bahwa anak lahir dalam keadaan suci dan kosong sebagaimana adanya, tanpa kesadaran iman atau kufur. Mereka lahir dalam keadaan kosong baik yang baik maupun yang jahat. Dia akan memperoleh pengetahuan tentang benar dan salah, jahat dan baik, benar dan buruk itu dari lingkungan eksternal.
c)      Pandangan Positif
Menurut Ibnu Taymiyah semua anak terlahir dalam keadaan fitrah, yaitu dalam keadaan kebajikan bawaan, dan lingkungan sosialah yang menyebabkan individu menyimpng dari keadaan ini.
d)     Pandangan Dualis
Pandangan ini dikemukakan oleh Sayyid Qutbh dan Ali Syari’ati, yaitu penciptaan manusia membawa suatu sifat dasar yang bersifat ganda. Dua unsur tersebut yaitu tanah dan ruh mengakibatkan kebaikan dan kejahatan sebagai suatu kecendrungan yang setara pada diri manusia. Syari’ati berpendapat bahwa tanah adalah simbol terendah dari kehinaan, digabungkan dengan Ruh dari Allah. Dengan demikian manusia adalah makhluk yang berdimensi ganda. Tersusun dari dua kekuatan tapi kekuatan itu berlwanan yaitu yang satu cenderung ke materi dan yang lain cenderung naik kepada Ruh suci dari Allah SWT.
Tujuan Penciptaan Manusia
Setidaknya ada dua tujuan hidup yang harus dilakukan oleh manusia :
1.      Abdullah
Abdullah atau mengabdi kepada Allah, adalah bentuk penyerahan diri secara total kepada Allah dengan melaksanakan apa yang menjadi perintahnya dan apa yang menjadi laranganya.
2.      Khalifah di Bumi
Menurut M. Dawam Rahadjo menuturkan, khalifah adalah fungsi manusia yang mengemban Amanat dari Tuhan kepada manusia, yang tidak lain adalah meberi pelayanan terhadap sesama makhluk. Didalam surat Al-baqarah dijelaskan : ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."

Diliat dari segi penciptaanya, manusia adalah makhluk Bi-Dimensional alias makhluk yang memiliki dua dimensi, yakni (1) dimensi fisik/ jasadi dan (2) dimensi psikis/ruhani.
1.      Unsur fisik/ jasadi -> kualitas rendah
Dimensi yang pertama bisa disebut dimensi kerendahan. Karena terkait sama dimensi jasadiah, fisik. Jadi maknanya adalah, manusia yang mengandalkan kepada elemen-elemen fisik, sebetulnya dia sedang menuju kepada kerendahan. Fisik kita itu, alih-alih mengalami perbaikan kualitas, dari hari ke hari itu justru makin menurun. Mungkin sekarang kita belum bisa ngerasain. Tetapi cepat atau lambat, akan datang satu hari di mana tulang kita ga akan lagi sanggup menopang tubuh kita, sekeras apapun kita olahraga hari ini. Akan datang satu hari dimana kulit kita menjadi keriput, sesering apapun kita melakukan perawatan hari ini.
Singkat kata, fisik kita ini dibuat dari elemen bahan baku yang rendah, tanah. Makanya kemudian, manusia itu dihina sama iblis karena fisiknya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada Para Malaikat: “Bersujudlah kamu kepada Adam”, Maka merekapun bersujud kecuali Iblis. Dia tidak Termasuk mereka yang bersujud. Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu aku menyuruhmu?” Menjawab Iblis “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang Dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Al-A’raaf: 11-12)
Jadi, manusia yang mau meningkatkan kualitas dirinya dengan bermodalkan kepada elemen-elemen fisik, jasadi, duniawi, maka sesungguhnya dia sedang mengumpulkan kehampaan-kehampaan. Semua yang berkaitan sama duniawi, itu fana. Itu adalah dimensi pertama manusia dimensi kehinaan, apabila dia menumpukkan kebahagiaannya itu pada aspek yang bersifat fisik.
2.      Unsur psikis/rohani ->kualitas tinggi
Dimensi psikis atau dimensi rohani. Dimensi kedua inilah yang punya potensi bisa bawa manusia ke arah kemuliaan. Dalam aspek ini, manusia adalah satu-satunya makhluk Allah yang ditiupkan ruh kedalam dirinya. Ditiupkan kesana ruh ilahiyyah. Makanya sifat-sifat Allah ada juga dalam diri manusia.
Lalu apa yang bikin beda? Allah itu Maha Pengasih, Maha penyayang, manusia juga kayak gitu, tapi kasih sayang manusia itu kan terbatas. Inilah yang mesti kita maksimalin buat  mencapai kesempurnaan sebagai manusia. Allah itu Maha Mengetahui, tapi manusia cuma mengetahui, terbatas. Maka optimalkanlah pengetahuan yang terbatas itu sama bimbingan wahyu, baru kemudian disitulah kita bakal optimal sebagai manusia.
Singkat kata, kemuliaan manusia itu ada pada dimensi-dimensi illahiyah dan itulah yang harus dioptimalisasi. Maka manusia insan kamil, manusia yang ideal, adalah manusia yang memiliki kecenderungan theomorfis. Manusia yang bisa merefleksikan dimensi-dimensi ilahiyyah. Jadi kemuliaan manusia itu terletak pada unsur ruhani, dalam artian ketika ia mampu mengoptimalisasi dimensi ilahiyyah yang ada di dalam dirinya. Karena semua makhluk Allah Swt. itu sudah permanen, tetap, tidak akan berubah. Cuma manusia satu-satunya makhluk yang bisa berubah, bisa berhenti sebagai manusia.Diliat dari segi penciptaanya, manusia adalah makhluk Bi-Dimensional alias makhluk yang memiliki dua dimensi, yakni (1) dimensi fisik/ jasadi dan (2) dimensi psikis/ruhani.























BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hakekatnya manusia terdiri atas 2 unsur yaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Unsur jasmani yaitu segala sesuatu pada manusia yang berupa bentuk fisik. Sedangkan unsur rohani adalah manusia pada intinya diciptakan dengan dilengkapi ar-ruh, aql, qalb, dan nafs. Diliat dari segi penciptaanya, manusia adalah makhluk Bi-Dimensional alias makhluk yang memiliki dua dimensi, yakni (1) dimensi fisik/ jasadi dan (2) dimensi psikis/ruhani.
Dimensi yang pertama bisa disebut dimensi kerendahan. Karena terkait sama dimensi jasadiah, fisik. Jadi maknanya adalah, manusia yang mengandalkan kepada elemen-elemen fisik, sebetulnya dia sedang menuju kepada kerendahan. Dimensi psikis atau dimensi rohani. Dimensi kedua inilah yang punya potensi bisa bawa manusia ke arah kemuliaan. Ditiupkan kesana ruh ilahiyyah. Makanya sifat-sifat Allah ada juga dalam diri manusia.












DAFTAR PUSTAKA
Faried, Ahmad. 1993. Menyucikan Jiwa Konsep Ulama Salaf. Surabaya: Risalah Gusti.
Fromm, Erich. 2001. Konsep Manusia Menurut Marx. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hadi, Hardono. 1996. Jati Diri Manusia. Yogyakarta: Kanisius.
Hanafi, A.. 1969. Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hoesin, Oemar Amin. 1961. Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Suriasumantri, Jujun S.. 2006. Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Syukur, Suparman. 2004. Etika Religius. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Takwin, Bagus. 2007. Psikologi Naratif Membaca Manusia Sebagai Kisah. Yogyakarta.
Umar, M. Ali Chasan. 1982. Manusia Siapa, Dari Mana dan Kemana. Semarang: Toha Putra.



[1] Bagus Takwin, Psikologi Naratif Membaca Manusia Sebagai Kisah, Yogyakarta: 2007, hlm. 4.
[2] Hardono Hadi, Jati Diri Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 33.
[3] Erich Fromm, Konsep Manusia Menurut Marx, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 33.
[4] Ibid., hlm. 39.
[5] Suparman Syukur, Etika Religius, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 231.
[6] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, hlm. 237.
[7] Augustinus adalah seorang teolog Kristen terbesar terakhir sebelum abad gelap dan karya tulisannya membuahkan doktrin gereja dalam semua garis besarnya dan dalam bentuk kasarnya sepanjang abad pertengahan dia adalah orang paling menonjol dari para pendiri gereja latin.
[8] A. Hanafi, Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1969, hlm. 141-142.
[9] Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Sina. Dikalangan masyarakat barat ia dikenal dengan nama “Avicienna”. Selain sebagai ahli kedokteran, Ibnu Sina juga dikenal sebagai filosof, psikolog, pujangga, pendidik dan sarjana Muslim yang hebat. 
[10] Oemar Amin Hoesin, Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1961, hlm. 135-136
[11] Miska Muhammad Amien, Op.cit., hlm. 32
[12] M. Ali Chasan Umar, Manusia Siapa, Dari Mana dan Kemana, Semarang: Toha Putra, 1982, hlm.  223-224
[13] Miska Muhammad  Amien, Op.cit., hlm. 28
[14] Ahmad Faried, Menyucikan Jiwa Konsep Ulama Salaf, Surabaya: Risalah Gusti, 1993, hlm. 70

Komentar

Postingan populer dari blog ini

shuhbah, futuwah dan itsar

keutamaan shuhbah, futuwah dan itsar BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Sahabat adalah orang yang bertemu langsung dengan Rasulullah SAW, sehingga dalam   pembahasan ilmu hadist, para sahabat sangat berperan eksistensinya. Karena para sahabat   merupakan orang yang pertama langsung bertemu dengan Rasul dan hidup di zaman Rasulullah saw., Para sahabat inilah yang meriwayatkan hadist, sebab dia mendengar dan melihat perbuatan apa yang Rasulullah lakukan di zaman hidupnya. Para sahabat sangat berperan sebagai pengganti yang melanjutkan tugas Rasulullah Saw., setelah rasul wafat. Mereka melakukan penyebaran dakwah dengan segala resiko dan tantangan yang harus dihadapinya. Sahabat Rasulullah merupakan generasi yang paling mulia, karena mereka menerima pendidikan secara langsung dari Rasulullah Saw., disamping terdidik dalam suasana wahyu, mereka pula yang menjaga sunnah Rasulullah terpelihara. Sehingga dapat sampai dan berekembang kepad...

tuma'ninah, musyahadah dan ma'rifat

PEMBAHASAN A. Tuma’ninah الطمأنينة ) Secara bahasa tuma’ninah berarti tenang dan tentram. Tidak ada rasa was-was atau kawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Thuma’ninah adalah suasana ketentraman hati karena terpengaruh oleh sesuatu yang lain. Menurut al-Sarraj tuma’ninah sang hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya dan bersih ingatannya. Seseorang yang telah mendapatkan hal ini sudah dapat berkomunikasi langsung dengan Allah SWT. Menurut ibnu Qayyim, “kebenaran adalah identik dengan ketentraman, sedangkan kebohongan adalah identik dengan keraguan dan kegelisahan.” Nabi juga bersabda, kebenaran adalah sesuatu yang menenangkan hati. Thuma’ninah Waktu shalat adalah waktu singkat yang sangat berharga bagi seorang muslim, karena ia sedang menghadap dan bermunajahat kepada Rabbnya yang Maha Tinggi dan Maha Tinggi dan Maha Agung oleh karena itu hendaknya berusaha untuk mening...