keutamaan shuhbah, futuwah dan itsar
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sahabat adalah orang yang bertemu langsung
dengan Rasulullah SAW, sehingga dalam
pembahasan ilmu hadist, para sahabat sangat berperan eksistensinya.
Karena para sahabat merupakan orang yang
pertama langsung bertemu dengan Rasul dan hidup di zaman Rasulullah saw., Para
sahabat inilah yang meriwayatkan hadist, sebab dia mendengar dan melihat
perbuatan apa yang Rasulullah lakukan di zaman hidupnya.
Para sahabat
sangat berperan sebagai pengganti yang melanjutkan tugas Rasulullah Saw.,
setelah rasul wafat. Mereka melakukan penyebaran dakwah dengan segala resiko
dan tantangan yang harus dihadapinya. Sahabat Rasulullah merupakan generasi
yang paling mulia, karena mereka menerima pendidikan secara langsung dari
Rasulullah Saw., disamping terdidik dalam suasana wahyu, mereka pula yang
menjaga sunnah Rasulullah terpelihara. Sehingga dapat sampai dan berekembang
kepada generasi sekarang ini. Adapun hadist yang terjaga salah satunya yaitu
hadis tentang shuhbah, futuwwah, dan itsar. Oleh karena itu, pemakalah akan
memaparkan materi tentang shuhbah, futuwwah, dan itsar.
B. Rumusan masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan Shuhbah?
2.
Apa
yang dimaksud dengan Futuwwah?
3.
Apa
yang dimaksud dengan itsar?
4.
Apa
keutamaan dari Shuhbah, Futuwwah, dan Itsar?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Shuhbah
Secara Etimologi shuhbah merupakan kata bentukan dari
kata “ash-Shuhbah” (Persahabatan),
yang tidak mengandung pengertian persahabatan dalam ukuran tertentu, tetapi
berlaku untuk orang yang menyertai orang lain, sedikit ataupun banyak.[1]
Secara Terminologi pengertian shuhbah dalam pembahasan ilmu hadis adalah :
ا لصحا بى : هو من لقي النبي صلى الله عليه و
سلم مسلما. وما ت على الاء سلام
Artinya:“sahabat adalah orang yang pernah bertemu
dengan Nabi SAW. Dalam keadaan beragama islam dan wafat pun dalam keadaan
beragama islam.”
Mengenai definisi sahabat, Bukhari memberikan
pengertian seperti yang dikutip oleh Alhusaini Abdul Majid Hasyim yaitu orang
yang pernah menemani Nabi SAW atau melihat Nabi SAW dan ia beragama Islam. Maka
dapat diartikan, sahabat adalah orang yang pernah melihat Nabi baik dalam waktu
yang lama maupun dalam waktu yang sebentar. Baik ia meriwayatkan suatu hadis
maupun tidak, baik ia pernah ikut berperang bersama Nabi maupun tidak.[2]
Akan tetapi Sa’id bin Musayyab memberi
pengertian lain tentang sahabat ia berpendapat bahwa sahabat, tiada kami anggap
melainkan mereka yang menetap bersama Rasullah SAW setahun atau dua tahun dan
pernah ikut berperang bersama Nabi sekali maupun dua kali.[3]
Ini hampir sama dengan pengertian sahabat menurut ulama ushul bahwa sahabat
adalah setiap orang yang lama bermujalasah dengan Rasulullah SAW secara
terus-menerus dan mengambil hadis dari beliau.
Akan tetapi, para ulama mengkritik definisi
ini alasannya karena definisi ini tidak mencakup beberapa kaum yang telah
disepakati sebagai sahabat.
Para muhadditsin cendrung memilih kriteria
yang lebih luas dalam pengertian sahabat karena melihat kemuliaan dan keagungan
Rasulullah barakahnya yang melimpah kepada orang mukmin yang berjumpa
dengannnya. Karena itu, mereka menetapkan bahwa sahabat adalah orang yang
pernah melihat Rasulullah SAW dalam keadaan beriman.[4]
Artinya ia harus beragam Islam.
Alasan kenapa para Muhadditsin memberikan
pengertian secara umum, dalam hal ini mensyaratkan harus melihat Rasulullah SAW
dan dalam keadaan beriman. Karena apabila dibatasi kepada syarat yang lebih
sempit, sahabat harus baligh, harus pernah menetap bersama Rasul selama setahun
atau lebih, pernah ikut berperang bersama Rasul, akan banyak sekali sahabat
yang seharusnya tidak diperselisihkan sebagai sahabat contohnya Abdullah bin
al-Zubair yang baligh setelah wafatnya Rasul.
Orang yang pernah bergaul dengan Rasulullah
dalam keadaan Islam dan beriman, tetapi kemudian murtad seperti Abdullah bin
jahsy dan Abdullah bin Kathai bukan di anggap lagi sebagai sahabat. Akan tetapi
seorang sahabat yang saat Nabi masih hidup maupun setelah wafat, masih dapat
dimasukkan dalam golongan sahabat, bukti dalam hal ini ialah yang dikemukakan
oleh Hafidh ibnu hajar tentang kisah al-Asy’as bin Qais yang pernah murtad.
Dikala ia menghadap Abu Bakar as-Shiddiq r.a. sebagai tawanan perang ia
mengatakan kembali kepada agama Islam, pernyataan ini diterima oleh Abu Bakar
dan bahkan terus dinikahkan dengan saudara perempuannya. Tidak seorang pun ahli
hadits kesahabatannya dan pentakhrijan hadits-haditsnya yang termuat dalam
musnad-musnadnya dan lain-lainnya.[5]
B.
Futuwwah
Futuwwah
(kekesatriaan) adalah pandangan hidup fata (kesatria). Dalam bahasa arab,
secara harfiah , fata (jamaknya fityan) berarti pemuda yang tampan dan gagah
berani. Setelah adanya pencerahan islam, penggunaan kata tersebut dalam kitab
suci Al-Quran, muatan maknanya berkembang menjadi seseorang yang ideal, mulia
dan sempurna; orang yang keramahan dan kedermawanannya tak ada habis-habisnya
sampai ia tak memiliki sesuatu pun untuk dirinya sendiri; seseorang yang ikhlas
memberikan semua miliknya, termasuk nyawanya, demi kepentingan sahabatnya.
Menurut kaum sufi, futuwwah adalah
aturan tingkah laku terpuji yang mengikuti teladan nabi-nabi, para wali, orang
orang bijak, dan para sahabat serta kekasih Allah.[6]
Futuwwah
merupakan kedudukan mulia, kata futuwwah berasal dari kata “fata”, yang artinya
pemuda. Istilah futuwwah awal mulanya digunakan oleh ja’far bin muhammad,
Al-Fudhail bin Iyadh, Al-Imam Ahmad, Sahl bin Abdullah, dan Al-Junaid.
Dikisahkan bahwa Ja’far bin Muhammad pernah ditanya seseorang tentang Futuwwah
ini. Orang itu bertanya, “Wahai anak keturunan Rasulullah s.a.w., kalau begitu
apa maknanya menurut kalian?” Ja’far menjawab, “jika kami diberi, maka kami
lebih suka memberikannya kepada orang lain lagi, dan jika kami tidak diberi,
maka kami bersyukur.”
Al-Harawi,
dalam kitab Manazilus Sa’irin, menyatakan bahwa hakikat Futuwwah adalah :
“Engkau tidak melihat kelebihan pada dirimu dan engkau tidak merasa memiliki
hak atas manusia.” Manusia berbeda-beda tingkatannya dalam masalah ini. Yang
paling tinggi adalah yang seperti ini, dan yang paling rendah adalah
kebalikannya. Sedangkan pertengahannya adalah yang tidak melihat kelebihan
dirinya, tetapi dia melihat adanya hak terhadap orang lain.[7]
C. Itsar
i.
Definisi itsar
Itsar (لْإِيثَارُا ), secara bahasa
bermakna melebihkan orang lain atas dirinya sendiri. Dari segi fitrah
setiap manusia yang masih terjaga fitrah kemanusiaannya juga dapat berbuat
mulia, mementingkan orang lain tanpa memikirkan dirinya sendiri. Dari segi istilah itsar adalah salah satu manfaat
diniyah (manfaat keagamaan) yang terwujud bila terjalin ukhuwah diantara
orang-orang yang seaqidah. Juga dikatakan wujud maksimal ukhuwah yang dimiliki
seseorang.
Sifat
ini termasuk akhlak mulia yang sudah mulai hilang di masa kita sekarang ini. Padahal
akhlak mulia ini adalah puncak tertinggi dari ukhuwah islamiyah dan merupakan
hal yang sangat dicintai oleh Allah Ta’ala dan juga dicintai oleh setiap makhluk. Memang
jika dilihat dari timbangan logika, hal ini merupakan hal yang sangat berat,
mengorbankan dirinya sendiri demi kepentingan orang lain tanpa mendapatkan
imbalan apapun. Akan tetapi di dalam agama islam, hal ini bukanlah suatu hal
yang mustahil. Tinta emas sejarah telah menuliskannya, bagaimana sikap itsar
kaum muslimin terhadap saudaranya.
Inilah akhlak para sahabat Nabi yang mulia, mereka
kaum Anshar benar-benar menyambut kaum Muhajirin yang datang kepada mereka,
mereka menerima saudara-saudara mereka yang seiman dan seaqidah dengan tangan
terbuka. Mereka para kaum Anshar saling berlomba-lomba memberikan segala apa
yang mereka bisa berikan kepada sesama.
Padahal saat itu mereka sendiri
membutuhkan.
ii.
Hadis tentang itsar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Saling menghadiahilah kalian niscaya kalian akan
saling mencintai.” (HR. Bukhari dalam Adabul
Mufrad no. 594, dihasankan Al-Albani rahimahullah dalam Irwa`ul Ghalil no. 1601).
Dan
kemudian di kuatkan dengan hadits “Saling menghadiahilah kalian karena sesungguhnya
hadiah itu akan mencabut/menghilangkan kedengkian.” (HR. Al-Bazzar no. 1937,dengan sanad dhoif, lihat pembahasannya
dalam Irwa’ul Ghalil 6/45,46).
Hadis
yang mulia di atas menunjukkan bahwa pemberian hadiah akan menarik rasa cinta
di antara sesama manusia karena tabiat jiwa memang senang terhadap orang yang
berbuat baik kepadanya. Inilah sebab disyariatkannya memberi hadiah. Dengannya
akan terwujud kebaikan dan kedekatan. Sementara agama Islam adalah
agama yang mementingkan kedekatan hati dan rasa cinta.
D. Keutamaan
shuhbah, itsar dan futuwwah
1. Dicintai oleh Allah SWT dan manusia
2.
Dimudahkannya
urusannya di dunia dan dilepaskan dari kesusahan di akhirat
3.
Tumbuhnya ikatan ukhuwah yang erat dan kuat
antar sesama muslim
4. Menerapkan sifat jujur, rendah hati dan
dermawan
5. Tumbuhnya sikap bertanggung jawab
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Menurut
Imam Bukhari Shuhbah (sahabat) adalah orang yang pernah melihat Nabi baik dalam waktu yang lama
maupun dalam waktu yang sebentar. Baik ia meriwayatkan suatu hadis maupun
tidak, baik ia pernah ikut berperang bersama Nabi maupun tidak.
Futuwwah
(kekesatriaan) adalah pandangan hidup fata (kesatria). Menurut kaum sufi, futuwwah adalah aturan tingkah laku
terpuji yang mengikuti teladan nabi-nabi, para wali, orang orang bijak, dan
para sahabat serta kekasih Allah.
Itsar (لْإِيثَارُا ), secara bahasa
bermakna melebihkan orang lain atas dirinya sendiri. Dari segi istilah
itsar adalah salah satu manfaat diniyah (manfaat keagamaan) yang terwujud
bila terjalin ukhuwah diantara orang-orang yang seaqidah.
Keutamaan shuhbah, itsar dan futuwwah
1. Dicintai oleh Allah SWT dan manusia
2.
Dimudahkannya
urusannya di dunia dan dilepaskan dari kesusahan di akhirat
3.
Tumbuhnya ikatan ukhuwah yang erat dan kuat
antar sesama muslim
4. Menerapkan sifat jujur, rendah hati dan
dermawan
5. Tumbuhnya sikap bertanggung jawab
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul
Majid Hasyim, Al-Husaini. ushulul Hadits An-Nabawi. Ma’had al-Adirasat
al-Islamiyah.
Ajjaj
Al-Khatib, Muhammad. 1998. Ushul Al-Hadits, Penerjamah: M.Qadirun Nur
dan Ahmad Musyafiq. Jakarta : Gaya Media Pratama.
Bahri,
Media Zainul Tasawuf Mendamaikan Dunia. Penerbit
Elangga.
IBN
AL-HUSAIN AS-SULAMI. FUTUWWAH konsep
pendidikan kesatriaan di kalangan sufi. Bandung.
Nuruddin’Itr.
1995.’Ulum al-Hadits,Penerjamah. Endang Soetari AD. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
Rahman,
Fatchur. 1974. Ikhtisar Musthalahab Hadits. Bandung : PT Alma’arif.
[1] Muhammad Ajjaj Al-Khatib, Ushul
Al-Hadits, Penerjamah: M.Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, (Jakarta:Gaya
Media Pratama,1998), hlm.377
[2]
Al-Husaini ‘Abdul
Majid Hasyim, ushulul Hadits An-Nabawi, Ma’had al-Adirasat al-Islamiyah,
hlm.102
[3] Nuruddin’Itr, ’Ulum
al-Hadits,Penerjamah; Endang Soetari AD, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya,
1995), hlm.102
[6] IBN AL-HUSAIN
AS-SULAMI, FUTUWWAH konsep pendidikan
kesatriaan di kalangan sufi, Bandung, hlm. 10
[7]
Media Zainul Bahri, Tasawuf Mendamaikan
Dunia. Penerbit Elangga.
Komentar
Posting Komentar