Geneologi tarekat ialah kajian atau penelusuran jalur keturunan
serta sejarah dari kelahiran atau kemunculan awal tarekat.
Tarekat
Kata tarekat berasal dari bahasa Arab al-tharq,
jamaknya al-thuruk merupakan isim musytaraq yang secara epistimologi berarti jalan,
tempat lalu atau metode. Dalam wacana tasawuf, istilah tarekat ini sampai abad
ke-11 M/5 H di pakai dengan pengertian jalan yang lurus yang dipakai oleh
setiap calon sufi untuk mencapai tujuannya, yaitu berada sedekat mungkin dengan
Allah atau dengan kata lain berada di hadirat-Nya tanpa dibatasi oleh dinding
atau hijab. Sedangkan ihtiar untuk mencapai jalan itu dinamakan suluk. Dan
orang yang bersuluk disebut salik.jadi dapat dikatakan bahwa kata terkait itu berarti kebiasaan
atau tradisi, sejarah kehidupan sirat dan Namun
anggapan atau pengertian tarekat sebagai kumpulan orang mengaji ini hanya
bertahan hingga abad ke-6 hijriyah karena setelah abad ke-6 tarekat berubah
mejadi suatu organisasi jama’at.[1] Yang terstruktur meski dalam kegiatannya sama.
Tarekat sebagai sebuah ajaran yang melembaga dan
muncul pada abad ke-6 H, yaitu setelah berdirinya organisasi-organisasi jamaah
para sufi dengan para murid atau pengikutnya masing-masing. Kemudian, menurut
Said Muhammad Aqali, bahwa tarekat itu muncul sebagai sebuah organisasi baru
pada abad ke-6 H dan ke-7 H. indikasi tersebut diperkuat oleh bukti historis
bahwa pada masa itu telah banyak bermunculan terekat-tarekat, seperti yasafiyah
yang didirikan oleh Ahmad Yasafi 562H/1169M, khawajaqawiyah yang dinisbahkan
kepada pendirinya Abdul al-Khaliq al-Ghaznawi, Qadariyah yang dipelopori oleh
Abdul Qadir al-Jailani, syaziliyah yang dinisbahkan kepada Nur al-Din Ahmad
al-Syazali dan Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmad al-Rifa’i.[2]
Ajaran pokok, yakni pengenalan
Tuhan yang sebenar-benarnya. Diberinya teladan seperti bersuci atau taharah, pada syari’at
dengan air atau tanah , pada hakekat bersih dari hawa nafsu, pada hakekat
bersih dari selain Allah, semuanya itu untuk mencapai ma’rifat terhadap Allah.
Oleh karena itu orang tidak dapat berhenti pada syar’iat saja, mengambil
tarekat atau hakikat saja, ia memperbandingkan syari’at itu dengan sampan,
tarekat itu lautan, hakekat itu mutiara, orang tidak dapat mencapai mutiara itu
dengan tidak melalui kapal dan lautan.[3]
Seorang ahli tarekat besar menerangkan, bahwa
sebenarnya tarekat itu tidak terbatas banyaknya, karena tarekat atau jalan
kepada Tuhan itu sebanyak jiwa hamba Allah. Pokok ajarannya tidak terbilang
pula, karena ada yang akan melalui jalan zikir, jalan muraqabah, jalan
ketenangan hati, jalan pelaksanaan segala ibadah, seperti sembahyang, puasa,
haji dan jihad, jalan melalui kekayaan, seperti mengeluarkan zakat dan
membiayai amal kebajikan, jalan membersihkan jiwa dari kebimbangan dunia akan
kethama’an hawa nafsu, seperti khalawat dan mengurangi tidur, mengurangi makan
minum, semuanya itu tidak dapat dicapai dengan meninggalkan syariat dan Sunnah
Nabi. Dalam hal ini Al-Junaid memperingatkan : “Semua tarekat itu tidak
berfaedah bagi hamba Allah jika tidak menurut Sunnah Rasulnya”.
Maka oleh karena itu tiap-tiap tarekat diakui sah
oleh ulama harus mempunyai lima dasar,
pertama
menuntut ilmu untuk dilaksanakan sebagai perintah tuhan,
kedua mendampingi guru dan teman
setarekat untuk meneladani,
ketiga
meninggalkan rukhsah dan ta’wil untuk kesungguhan,
keempat
mengisi semua waktu dengan do’a dan wirid dan
kelima
mengekangi hawa nafsu daripada berniat salah dan untuk keselamatan.[4]
-
Tarekat sebagai
organisasi
pengertian tentang tarekat itu, yang mula-mula tidak
lain daripada suatu cara nengajar atau mendidik, lama-lama meluas menjadi
kekeluargaan, kumpulan, yang mengikat penganut-penganut Sufi yang sepaham
dengan sealiran, guna memudahkan menerima ajaran-ajaran dan latihan-latihan
daripada pemimpinnya dalam suatu ikatan, yang bernama tarekat.
Terutama dalam zaman kemajuan Baghdad dalam abad
ke-III dan k e-IV Hijriyah, dalam masa
kehidupan lebih banyak merupakan keduniaan
daripada keagamaan, kelihatan benar pertumbuhan pengertian tarekat kedua ini.
Dalam pada itu dari satu pihak kelihatan lunturnya iman dan tauhid, dari lain
pihak timbulnya hidup kebendaan dan kemewahannya, yang kedua-duanya menyuburkan
kerusakan akhlak dan moral dalam kalangan kaum muslim.
Maka timbulah ulama-ulama yang ingin hendak memperbaiki
kerusakan jasmani dan rohani itu ingin mengembalikan umat kepada kehidupan
Islam yang sebenar-benarnya, seperti yang pernah terjadi dalam masa Nabi. Lalu
mereka mengumpukan pengikut-pengikutnya, mengajar dan melatih syari’at Islam,
serta meresapkan kedalam jiwanya, jazb, rasa ketuhanan melalui jalan tatiqah
yang kita namakan tarekat sekarang ini dari petunjuk-petunjuk yang terdapat
dalam ayat-ayat Qur’an atau dalam Hadis-Hadis. Dengan demikian terjadilah
tarekat itu semacam kumpulan amal yang dipimpin oeh seorang guru, yang
dinamakan mursyid atau syeik tarekat, wakilnya bias dinamakan khalifah,
beberapa banyak pengikutnya yang dinamakan murid dengan gedungnya tempat
berlatih melakukan ibadat dan lain-lain yang bernama ribath atau zawiyah,
kitab-kitab yang khusus dipergunakan untuk keperluan itu, baik mengenai
ilmu fiqih maupun mengenai ilmu tasawuf, yang sudah diberi bercorak sesuatu
tarekat yang khusus, mempunyai
zikir dan do’a serta wirid yang khusus pula, perjanjian-perjanjian yang
tertentu dari murid terhadap gurunya, yang biasa disebut bai’at dll. Sehingga
tarekat itu merupakan suatu kekeluargaan, ukhuwah yang berbeda antara satu sama
lain. Segala sesuatu yang terjadi dalam tarekat itu mempunyai corak yang
tertentu. Sampai kepada cara bergaul dan cara berpakaian, cara melakukan
ibadat, cara berfikir dan berwirid, berbeda dengan yang lain. Sebagai
perkumpulan tarekat itu didirikan dan dipimpin oleh seorang bekas murid yang
telah mendapat ijazah (ilmu)
dari gurunya dengan silsilah yang diakui kebenarannya sampai kepada Nabi
Muhammad.[5]
Prinsip-prinsip dalam tarekat
Dalam berdirinya suatu tarekat sebagai suatu jalan yang
dilalui untuk mencapai sufi terlebih setelah tarekat menjadi sebuah organisasi
bagi jama’at para kaum atau calon sufi tentulah memilki prinsip dasar yang
harus ada. Prinsip dasar atau hal pokok atau bisa juga disebut komponen dalam
tarekat yaitu
1. Adanya mursyid: mursyid yaitu guru dalam hal ini yang
dimaksud guru ialah guru spiritual yang membimbing dalam tarekat. Islam sangat
memberikan perhatian terhadap keberadaan seorang mursyid sehingga seorang
mursyid harus dihormati oleh penganutnya dan juga ada syarat bagi seseorang
untuk bisa disebut mursyid yaitu haruslah berilmu, memiliki agama yang luhur
dan memilki sifat terpuji.
2. Adanya murid: murid yaitu seorang yang hendak menempuh
jalan mendekatkan diri pada Allah yang akan melaksanakan suluk. Dalam
prinsipnya bahwa seorang murid harus mengehormati guru atau mursyidnya, atau
dalam beberapa tarekat tertentu terdapat aturan apakah seorang murid harus
tinggal dengan gurunya atau ia boleh pulang. Murid dalam tarekat seseorang yang
dikatakan sebagai murid yaitu orang yang telah di baiat oleh sang mursyid,
sehingga mursyid tahu bahwa orang itu ialah muridnya.
3. Adanya baiat: baiat atau perjanjian disini ialah prosesi
pelantikan yang dilakukan oleh sang mursyid pada muridnya sebagai tanda bahwa
orang tersebut diterima jadi murid dan menjadikan orang itu mendapat kewajiban
untuk mentaati perintah mursyid dan menghormatinya. Baik prosesinya yaitu
berbeda-beda antara tarekat satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh seperti
duduk berhadapan dengan dua lutut mursyid menempel pada lutut sang calon murid
dan mengucap ayat Al- Qur’an.
4. Adanya ajaran: ajaran dalam tarekat tentu yang
berhubungan dengan jalann menuju Allah SWT yang berasal dari Al- Qur’an dan as-
sunnah. Dengan dzikir dan berdoa. Hal ini tidak lepas dari kitab-kitab yang
berisikan ajaran baik fiqih, muamalah, dan juga tasawuf.
5. Adanya silsilah: silsilah yang dimaksud yaitu runtutan
guru apakah sang mursyid berguru dengan mursyid- mursyid yang jika diurutkan
akan menyambung pada rasullah SAW. Karena ajaran yang diyakini validitasnya
yaituyang samapai pada nabi Muhammad sehingga silsislah menjadi hal yang
penting dalam tarekat.
Diatas
adalah lima hal yang menjadi unsur sekaligus prinsip dalam tarekat sebagai
landasan diakuinya tarekat.
Etika
dalam tarekat
Dalam
tarekat sebagai suatu perkumpulan manusia yang memilki tujuan tentulah ada
nilai atau etika berperilaku yang harus diiketahui seluruh anggota tarekat
sehingga tarekat tersebut. Dalam hal ini etika yang kami bahas yaitu
Etika murid terhadap mursyid:
1. Menyerahkan
diri lahir batin
2. Menurut
dan mematuhi perintah gurunya
3. Tidak
boleh mengguncing gurunya
4. Tidak
boleh melepaskan ikhtiyarnya sendiri
5. Harus
selalu ingat kepada gurunya
6. Tidak
boleh memiliki keinginan untuk bergaul lebih dalam dengan mursyid-nya, baik untuk tujuan dunia maupun akhirat
7. Harus
mempunyai keyakinan dalam hati
8. Tidak
boleh menyembunyikan rahasia hatinya
9. Harus
memelihara keluarga dan kerabat gurunya
10. Kesenangan
murid tidak boleh sama dengan gurunya
11. Tidak
memberi saran kepada gurunya
12. Tidak
boleh memandang kekurangan gurunya
13. Harus
rela memberikan sebagian dari hartanya
14. Tidak
boleh bergaul dengan orang yang dibenci gurunya
15. Tidak
boleh melakukan sesuatu yang dibenci gurunya
16. Segala
sesuatu yang menyangkut pribadinya harus mendapat izin dari gurunya
17. Tidak
boleh duduk pada tempat yang biasa dipakai duduk oleh gurunya
Etika mursyid terhadap murid:
1. Alim
dan ahli dalam memberikan tuntunan-tuntunan kepada murid-muridnya baik dalam
ilmu fiqh, aqa’id dan tauhid sehingga tidak ada keraguan lagi pada mereka.
2. Mengetahui
tentang hati, kesempurnaannya, penyakit-penyakitnya, dan bagaimana cara
mengobatinya.
3. Memiliki
belas kasihan terhadap orang islam, terutama murid-muridnya dan bersabar dalam
mendidik mereka serta bijaksana dalam memperbaiki mereka.
4. Pandai
menyimpan segala rahasia murid-muridnya.
5. Tidak
menyalahgunakan amanah muridnya.
6. Menjadi
contoh dan teladan bagi murid-muridnya.
7. Tidak
terlalu banyak bergaul dan bergurau dengan murid-muridnya.
8. Membersihkan
ucapan dari nafsu dan keinginan.
9. Bijaksana
dan selalu berlapang dada, ikhlas, dan tidak memberatkan muridnya untuk
mengamalkan sesuatu yang tidak mereka sanggupi.
Segera memerintahkan muridnya untuk berkhalwat
ditempat sepi dan jauh darinya jika melihat keadaan murid yang sering
bersamanya menunjukkan kebesaran dan ketinggian hatinya.
- 11. Menjaga kepercayaan dan kehromatan dirinya dihadapan muridnya.
- 11. Tetap memberi petunjuk-peteunjuk tertentu pada waktu-waktu tertentu untuk memperbaiki keadaan murid-muridnya.
- 12. Memberikan amalan yang lebih banyak kepada murid-muridnya ketika rahasia-rahasia sudah terbuka bagi mereka untuk menaikkan mereka ketingkat yang lebih tinggi dan untuk menghindari mereka dari rasa bangga pada diri sendiri.
- 13. Melarang murid-muridnya untuk banyak bicara dengan teman-temannya terutama tentang wirid-wirid dan pengalaman-pengalaman spiritual yang mereka alami.
- 14. Menyediakan tempat khlawat khusus untuk murid-muridnya dan juga untuk dirinya sendiri.
- 15. Menjaga agar muridnya tidak melihat segala gerak-geriknya.
- 16. Mencegah muridnya untuk tidak terlalu banyak makan.
- 17. Melarang murid-muridnya berhubungan dengan Syeikh tarekat lain.
- 18. Melarang murid-muridnya untuk bertamu kepada raja-raja dan orang-orang besar kecuali ada keperluan tertentu.
- 19. Berkhutbah dengan lemah lembut.
- 20. Mendatangi undangan dengan penuh kehormatan dan penghargaan serta dengan rendah hati.
- 21. Duduk dengan tenang dan penuh sabar dihadapan murid-muridnya.
- 22. Tidak memalingkan muka ketika ada murid yang mendatanginya.
- 23. Menanyakan murid yang tidak hadir dan mengetahui penyebabnya.[6]
Etika murid terhadap murid yang lain:
1. Tidak
boleh iri kepada murid lainnya
2. Saling menjaga dan menyayangi
3. mencintai
ikhwan tarekat seperti ia mencintai dirinya sendiri.
4. memulai
mengucapkan salam, bersalaman, dan berbicara dengan bahasa yang menyenangkan
jika bertemu dengan sesama ikhwan.
5. bergaul
sesama ihkwan dengan akhlak yang baik.
6. bersikap
tawadhu kepada ikhwan.
7. mencari
keridhaannya mereka dan anda harus memandang mereka lebih baik dari pada anda
sendiri, selanjutnya saling menolong dalam kebaikannya dan takwa, mencintai
allah, dan mendorong mereka dalam hal yang disebut ridha allah, dan menunjuki
mereka ke jalan yang benar.
8. menaruh
kasih kepada semua ikhwan, hormat kepada yang lebih besar dan sayang kepada
yang lebih mulia.
9. bersikap
simpatik dan halus dalam upaya menasihati ikhwan jika mereka melakukan
pelanggaran.
10. berbaik
sangka kepada ikhwan. Bila kamu melihat aib pada seseorang, maka ucapkanlah
pada diri sendiri : “aib itu sebenarnya ada pada saya sebab seorang muslim
adalah cermin bagi muslim lainnya”.
11. hendaklah
menerima permintaan maaf ikhwan yang lainnya apabila ia minta maaf meskipun ia
berdusta, sebab orang yang meminta maaf kepadamu secara terbuka meskipun
batinnya marah. Maka sesungguhnya orang itu telah tatt kepadamu dan telah
menghormatimu.
12. mendamaikan
dua ikhwan yang bermusuhan.
13. bersikap
benar kepada sesama ikhwan dalam segala kondisi, dan jangan lupa mendoakan
mereka dengan ampunan, meskipun mereka gaib (tidak ada dihadapan kita).
14. memberi
kelapangan kepada mereka dalam majlis.
15. bertanya
dengan nama kawan kita sekaligus nama ayahnya.
16. mempertahankan
harga diri ikhwan dan menolong mereka meskipun sedang tidak dihadapan kita.
17. menunaikan
janji apabila ia berjanji, sebab sesungguhnya janji termasuk salah satu dari
dua pemberian. Menurut ahlussunnah, ia adalah utang. Menyalahi janji termasuk
kemunafikan.
etika
murid terhadap dirinya sendiri:
1. Meninggalkan
pergaulan dengan orang-orang yang jahat, sebaliknya bergaul dengan orang-orang
pilihan.
2. Jika
hendak berdzikir padahal ia telah memiliki keluarga dan anak, maka seyogyanya
menutup pintu yang dapat menghalangi antara dia dengan istri dan anaknya.
3. Meninggalkan
sikap berlebihan baik dalam urusan makan, minum, pakaian, maupun hubungan suami
istri.
4. Meninggalkan
cinta dunia dan berfikir tentang kehidupan akhirat. Cinta kepada allah tidak
akan besemi dihati jika dihati ada cinta kepada dunia.
5. Tidak
tidur dalam keadaan junub, tetapi sebaliknya selalu dalam keadaan suci dan
punya wudhu.
6. Tidak
boleh toma’ (berharap) kepada apa yang ada ditangan manusia lain
7. Jika
rezeki sulit didapat dan hati manusia keras kepadanya, maka bersabarlah. Sebab
boleh jadi harta dunia berpaling dari murid ketika ia masuk dalam tarekat.
8. Hendaklah
ia melakukan muhasabah (instropeksi) dan mendorong jiwanya untuk mengamalkan
tarekat.
9. Menyedikitkan
tidur, terutama diwaktu sahur, sebab ia adalah waktu yang ijabah.
10. Menjaga
diri agar makan yang jelas kehalalannya.
11. Membiasakan
diri sedikit makan, tidak makan kecuali bila lapar dan berhenti makan sebelum
kenyang.
12. Menjaga
lisan dari ucapan yang tidak berguna dan menjaga hati dari getaran yang tidak
perlu. Orang yang menjaga lisan dan istiqomah hatinya akan terbuka baginya
rahasia-rahasia langit.
13. Memejamkan
mata dari melihat muharramat, sebab melihat yang diharamkan bagaikan racun
yang dapat membunuh, dan racun itu ada
dihatinya. Maka dikhawatirkan ia membunuh dirinya lebih-lebih jika melihat
muharramat dengan syahwat.
14. Meninggalkan
senda gurau yang berlebihan, sebab ia dapat mematikan hati dan bisa
mengakibatkan kezaliman .
15. Menyertai
ikhwan yang mengalami kesulitan, ajak ia bicara tentang adab dalam bertarekat
agar hatinya terbuka dan ia lepas dari kesulitan yang dideritanya.
16. Meninggalkan
terbahak-bahak dalam ketawa, sebab ia dapat mematikan fungsi hati. Oleh karena
itu rosullah tidak tertawa dengan terbahak-bahak, tetapi ia hanya tersenyum
saja.
17. Menghindari
membahas keadaan hal-ihkwal orang lain.
18. Menjauhi
kecintaan kepada kemuliaan, keagungan dan kekuasaan, sebab ia bisa memutuskan
jalan kepada allah.
19. Hendaklah
murid bersikap tawadhu, sebab tawadhu dapat mengangkat martabat orang yang
melakukannya.
20. Hendaklah
ia bersikap khouf dan raja. Takut oleh allah sekaligus mengharap ampunannya.
21. Membiasakan
diri mengucapkan insya allah jika bermaksud melakukan atau tidak melakukan
sesuatu.
22. Menyembunyikan
rahasia spiritual yang ia dapatkan dalam mimpinya atau dalam terjaganya,
kecuali kepada mursyidnya.
23. Seyogyanya
si murid memiliki waktu tersendiri untuk berzikir kepada tuhannya dengan dzikir
yang khusus yang ia terima dari gurunya tanpa ada penambahan atau pengurangan.
24. Jangan
merasa lambat terbukanya hijab kepadanya, tetapi beribadahlah kepada allah.
Sama saja apakah allah membuka mata hatinya sehingga ia bisa melihat rahasia
langit atau tidak.
[1] Rusli Ris’an, Tasawuf Dan
Tarekat Studi Pemikiran Dan Pengalaman Sufi, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2013), hlm. 184
[2] Rusli Ris’an, Tasawuf Dan
Tarekat Studi Pemikiran Dan Pengalaman Sufi, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2013), hal. 189
[3] Atjeh Aboebakar, Pengantar
Ilmu Tarekat, (Solo: Ramadani, 1985), hal. 71
[4] Atjeh Aboebakar, Pengantar
Ilmu Tarekat, (Solo: Ramadani), 1985, hal. 72
[5] Atjeh Aboebakar, Pengantar
Ilmu Tarekat, (Solo: Ramadani, 1985), hal. 74
[6] Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu
Tarekat, (Solo: Ramadhani, 1996), hlm. 80-84
Komentar
Posting Komentar