Langsung ke konten utama

gangguan somatoform


MAKALAH
Gangguan Somatoform
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Psikologi Abnormal
Dosen Pengampu : Sri Rejeki S. Sos.I, M.Si

Disusun :
1.      M. Dzikron                            ( 124411033   )
2.      Nahrul Hayat                         ( 1604046090 )
3.      Dani zulfa yuliana                 ( 1604046102 )
4.      Devi Ria Ayumawaddah      ( 1604046110 )

TASAWUF DAN PSIKOTERAPI
FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI WALISONGO SEMARANG
2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Somatoform Disorder ini merupakan gangguan psikologis yang melibatkan keluhan akan simtom – simtom fisik, dan mengartikan secara berlebihan makna dari simtom fisiknya itu, yang diyakini sebagai suatu “penyakit” yang serius namun tidak dibenarkan oleh dokter. Yang artinya dokter meyakini tidak ada penyakit yang serius yang dideritanya. Dissociative disorder ini adalah sebuah tipe gangguan psikologis yang menganggu fungsi self – identitas, memori, atau kesadaran, yang kemudian membentuk sebuah kepribadian yang utuh. Orang yang mengalami gangguan Disosiatif tidak mengenal dirinya secara eksistensial atau filosofis, ia hanya tahu, siapa namanya, dimana ia tinggal apa yang ia lakukan sehari – hari, ia juga ingat peristiwa – peristiwa penting dalam hidupnya, tapi ia tidak mampu menceritakan secara detail.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian somatoform?
2.      Apa saja gangguan dari somatoform ?
3.      Bagaimana cara penanganan dari somatoform ?







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Gangguan Somatoform[1]
Kata somatoform diambil dari bahasa Yunani sama, yang berarti “tubuh”. Dalam gangguan somatoform (somatoform disorder), orang memiliki simtom fisik yang mengingatkan pada gangguan fisik, namun tidak ada abnormalitas organik yang dapat ditemukan sebagai penyebabnya. Lebih dari itu, ada bukti, atau beberapa alasan yang dapat dipercaya, bahwa simtom tersebut merefleksikan faktor atau konflik psikologis. Beberapa orang mengeluhkan masalah dalam bernafas atau menelan, atau ada yang “menekan didalam tenggorokan. “masalah-masalah seperti ini dapat merefleksikan aktivitas yang berlebihan dari cabang simpatis sistem saraf otomik, yang dapat dihubungkan dengan kecemasan. Kadang kala, sejumlah simtom muncul dalam bentuk yang lebih tidak biasa, seperti “kelumpuhan” pada tangan atau kaki yang tidak konsisten dengan kerja sistem saraf. Dalam kasus-kasus lain, orang berfokus pada keyakinan bahwa mereka menderita penyakit yang serius, namun tidak ada bukti abnormalitas fisik yang dapat ditemukan.
Gangguan somatoform berbeda dengan malingering, atau kepura-puraan simtom yang bertujuan untuk mendapatkan hasil yang jelas (seperti menghindari pekerjaan). Gangguan tersebut juga berbeda dengan gangguan factitious (factitious disorder), yang bentuk paling umumnya adalah sindrom Munchausen (munchausen syndrome).
B.     Macam Macam Gangguan Somatoform
1.      Hipokondriasis[2]
Seperti banyak istilah lainya dalam psikopatologi, hypokondriasis (hipokondriasis) memiliki akar yang sudah tua. Bagi orang yunani, “hypochondrya” adalah daerah di bawah tulang iga, dan organ organ yang ada di wilayah ini mempengaruhi keadaan mental. Sebagai contoh gangguan usus dan perut pernah dianggap sebagai bagian sidroma hipokondriakal. hipokondriasis ditandai dengan kecemasan dan ketakutan memiliki penyakit serius. Dengan demikian, masalah esensialnya adalah kecemasan, tetapi pengekspresianya berbeda dengan gangguan-gangguan kecemasan lainya. Pada hipokondriasis, individu terokupasi dengan gejala-gejala jasmainiah dan salah interpretasikanya sebagai indikasi penyakit. Hampir semua sensasi fisik menjadi dasar kekhawatiran penderita hipokondriasis. Sebagian mungkin memfokuskan pada fungsi-funfsi jasmaniah normal seperti detak jantung atau pernapasan. Sebagian lainya memfokuskan pada abnormalitas fisik ringan, misal batuk. Sebagian individu memngeluhkan gejala-gejala yang sangat ambigu, misalnya nyeri atau kelelahan.
Ø  Penyebab Hipokondriasis[3]
Para peneliti dengan berbagai sudut pandang yang berbeda sepakat mengenai proses-proses psikopatologis yang berlangsung dalam hipokondriasis. Interpretasi yang keliru terhadap berbagai tanda dan sensasi fisik yang dianggap sebagai bukti adanya penyakit fisik tertentu merupakan aspek yang sangat penting. Dengan demikian hampir semua orang bersepakat bahwa hipokondriasis pada dasarnya sebuah disorder of cognition or perseption  (gangguan kognisi dan persepsi) dengan kontribusi emosional yang kuat.
Individu-individu penderita hipokondriasis mengalami sensasi-sensasi fisik yang lumrah dialami semua orang, tetapi mereka dengan cepat memfokuskan perhatiannya pada sensasi-sensasi ini. Ingat bahwa tindakan memfokuskan perhatian pada diri sendiri akan meningkatkan arousal dan membuat sensasi fisik mejadi tampak lebih intens dibanding yang sesungguhnya. Bila anda juga cenderung salah menginterpretasikan hal ini sebagai gejala penyakit, maka kecemasan anda akan semakin meningkat. Kecemasan yang meningkat ini menambahkan gejala-gejala fisik tambahan.
2.      Somatisasi[4]
Gangguan somatisasi (somatization disorder) sebelumnya dikenal sebagai sindrom Briquet dicirikan dengan keluhan somatik yang beragam dan berulang yang bermula sebelum usia 30 tahun (namun biasanya pada masa remaja) bertahan paling tidak selama beberapa tahun, dan berakibat antara menuntut perhatian medis atau mengalami pendaya yang berarti dalam memenuhi peran sosial atau pekerjaan.
Ciri utama dari hipokondriasis adalah ketakutan akan penyakit, akan apa yang mungkin diindikasikan oleh simtom tubuh. Orang dengan gangguan somatisasi sebaliknya, terganggu oleh simtom itu sendiri. Kedua diagnosis tersebut dapat diberikan pada individu yang sama bila kriteria diagnostiknya terpenuhi untuk kedua gangguan ini.
Gangguan somasitis melibatkan fokus yang ekstrem dan berlangsung lama pada berbagai gejala fisik majemuk yang tidak memiliki penyebab medis yang jelas.
Ø  Penyebab Somasitis[5]
Gangguann somasitis memiliki fitur-firur yang sama dengan hipokondriasis, termasuk sejarah sakit kronis dalam keluarga atau cedera yang dialami pada masa kanak-kanak. Tetapi ini merupakan faktor yang kecil, karena tak terhitung banyaknya keluarga yang mengalami sakit kronis atau cedera tanpa mewariskan peran sakit kepada anak-anaknya. Torgenden (1986) tidak menemukan prevalensi gangguan somatisasi yang lebih tinggi pada pasangan monozigotik, tetapi kebanyakan studi menemukan bukti yang substansial bahwa gangguan ini mengalir dalam keluarga dan mungkin memiliki dasar keturunan. Fitur-fitur gangguan somasitis meliputi :
a)      Riwayat banyak keluhan fisik yang mulai muncul sebelum usia 30 tahun, yang berlangsung selama bertahun-tahun dan menyebabkan individu mencari penanganan untuk mengatasi masalahnya atau mengalami hendaya signifikan di bidang-bidang fungsi pentingnya.
b)      Menunjukkan gejala-gejala berikut: empat gejala fisik (dua gejala gestrointensial yang tidak menimbulkan nyeri (misalnya, mual, diare, kembung), satu gejala seksual (misalnya, pendarahan menstruasi yang sangat banyak, disfungsi ereksi),satu gejala pseudoneurologis (misalnya, penglihatan ganda, gangguan koordinasi atau keseimbangan, sulit menelan)
c)      Keluhan-keluhan fisik tidak dapat dijelaskan sepenuhnya berdasarkan kondisi medis secara umum atau berdasarkan efek subtansi tertentu (misalnya efek obat atau penyalahgunaan obat) atau bila ada kondisi medis secara umum, keluhan fisik atau hendayanya melebihi perkiraanunruk kondisi medis tersebut.
d)     Keluhan atau hendaya tidak di buat secara sengaja atau pura-pura.
Gangguan somasitasi sangat sulit untuk ditangani dan tidak ada penangananya yang terbukti efektif untuk memnyembuhkanya.
3.      Gangguan Konversi[6]
Gangguan konversi (konversion disorder) dicirikan oleh suatu perubahan besar dalam fungsi fisik atau hilangnya fungsi fisik, mesti tidak ada temuan medis yang dapat ditemukan sebagi penyebab simtom atau kemunduran fisik tersebut. Simtom fisik itu biasanya timbul tiba-tiba dalam situasi yang penuh tekanan.
Gangguan konversi secara umum ada hubunganya dengan malfungsi fisik, seperti kelumpuhan, kebutaan atau kesulitan berbicara (afonia) tanpa adanya patologi fisik atau organik yang bertanggung jawab atas terjadinya malfungsi. Sebagian besar gejala konversi menunjukkan bahwa suatu jenis penyakit neurologis tertentu mempengaruhi sistem sensori motorik, eskipun gejala-gejala konversinya sendiri dapat meniru semua bentuk malfungsi fisik.
Selain kebutaan, kelumpuhan, dan afonia gejala konversi juga dapat meliputi gejala kehilangan kemampuan berbicara secara total dan kehilangan indra perabaan. Sebagian orang mengalami seizure(serangan  mendadak seperti pada penderita epilepsi). Gejala lain yang mungkin bertarif lazim dijumpai adalah globus hystericu, yaitu sensasi adanya bongkahan di kerongkongan yang membuat penderita mengalaimi kesulitan untuk menelan, makan atau kadang kadang juga untuk berbicara.
v  Penyebab konversi[7]
Freud mendeskripsikan tentang 4 konsep dasar dalam perkembangan gangguan konversi.
Ø  Pertama individu mengalami kejadian traumatik- menurut pandanga freud berupa konflik tak sadar dan tidak dapat diterima.
Ø  Kedua karena baik konflik itu maupun kecemasan yang diakibatkannya tidak dapat diterima, orang menekan konflik itu dan membuatnya menjadi sesuatu yang berada di luar kesadaran.
Ø  Ketiga kecemasan terus meningkat dan mengancam untuk muncul kekesadaran, sehingga orang yang bersangkutan kemudian “mengonversikannya” menjadi gejala-gejala fisik guna melepaskan diri dari tekanan untuk menghadapi konfliknya secara langsung.
Ø  Ke empat individu menerima perhatian dan simpati yang lebih besar dari orang-orang yang dicintainya dan mungkin juga diperbolehkan untuk menghindari situasi tau tugas yang sulit.
4.    Gangguan nyeri [8]
Gangguan somatoform terkait yang baru sedikit diketahui hal ihwalnya adalah pain disorder (ganguan nyeri) pada gangguan nyeri, mungkin pernah ada alasan fisik yang jelas atas timbulnya nyeri atau rasa sakit itu, paling tidak pada awalnya, tetapi faktor-faktor psikologis berperan penting dalam mempertahankannya . salah satu fitur penting gangguan nyeri adalah adanya rasa sakit atau nyeri yang riil dan benar-benar terasa menyakitkan, terlepas dari apa penyebabnya.
Gangguan somatoform yang memiliki fitur nyeri riil tetapi baik onset, tingkat keparahan, maupun persistensinya banyak ditentukan oleh faktor-faktor psikologis. Idap kanker, nyeri yang dirasakannya mungkin terkait dengan kankernya. Tetapi sekarang kita tahu bahwa apapun penyebabnya, nyeri itu memiliki komponen psikologis yang kuat. Bila penanganan medis untuk kondisi-kondisi fisik yang ada sudah dilakukan dan nyeri itu masih ada, atau bila nyeri itu tampak jelas berhubungan dengan faktor-faktor psikologis, maka intervensi psikologis lebih tepat dilakukan. Karna kompleksnya nyeri itu sendiri dan beragamnya narkotik dan obat-obatan lain yang diresepkan untuk itu.
Ø  fitur-fitur gangguan nyeri meliputi :
a.    adanya nyeri atau rasa sakit serius di satu lokasi anatomis atau lebih.
b.    nyeri itu menyebabkan distress atau hendaya yang signifikan secara klinis.
c.    Faktor-faktor psikologis dinilai berperan pokok dalam onsep, tingkat keparahan, keadaan yang memperburuk, atau persistensi nyeri.
d.   Nyeri itu bukan pura-pura atau sengaja dibuat.
5.    Gangguan dismorfik tubuh.[9]
Orang dengan gangguan dismorfik tubuh ( body dismorphic disorder atau BDD) terpaku pada kerusakan fisik yang dibayangkan atau dibesar-besarkan dalam penampilan mereka. Mereka dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk memeriksakan diri didepan cermin dan mengambil tindakan yang ekstrim untuk mencoba memperbaiki kerusakan yang dipersepsikan, bahkan menjalani operasi plastik yang tidak dibutuhkan. Dapat membuang setiap cermin dari rumah mereka agar tidak diingatkan akan cacat yang mencolok dari penampilan mereka. Orang dengan BDD dapat percaya bhwa orang lain memandang diri mereka jelek atau berubah bentuk untuk menjadi rusak dan bahwa penampilan fisik mereka yang tidak menarik mendorong orang lain untuk berfikir negatif tentang karakter atau harga diri mereka sebagai seorang manusia. Orang dengan BDD sering menunjukkan pola berdandan atau mencuci, atau menata rambut secara komplusif, dalam rangka mengoreksi kerusa kan yang dipersepsikan.
v  Penyebab dismorfik tubuh.
Ada banyak spekulasi psikoanalitis tentang gangguan ini, tetapi kebanyakan difokuskan pada mekanisme pertahanan yangbdi sebut displacement yaitu bahwa konflik tak sadar yang mendasarinya yang terlalu mencemaskan unruk diakui dalam kesadaran, sehinnga orang yang bersangkutan memindahkanya (to displce) ke bagian tubuh tertentu. BDD dianggap sebagai sebuah gangguan somatofrom, karena fitur sentralnya adalah preokupasi psikologis pada isu-isu somatik. Sebagai contoh, pada hipokondriasis fokusnya adalah pada sensasi sensasi fisik, sementara di BDD fokusnya adalah pada penampilan fisik. Para penderita BDD mengeluhkan adanya pikiran-pikiran yang persisten, intrusif dan mengerikan tentang penampilanya. Mereka juga melakukan tindakan tindakan komplusif seperti berulang kali melihat ke cermin untuk memeriksa fitur fisik yang di risaukan.
C.        Penanganan Gangguan Somatoform[10]
Pendekatan penanganan yang dirintis oleh freud, psikoanalisis, dimulai dengan penanganan terhadap histeria, yang sekarang diistilahkan sebagai gangguan konversi. Psikoanalisis berusaha mengungkap dan mengangkat konflik tidak sadar yang berasal dari masa kecil ke dalam perhatian kesadaran. Sekali konflik diungkap dan dilalui, simtom tidak lagi diperlukan sebagai “penyelesaian secara parsial” dan seharusnya menghilang. Metode psikoanalitik didukung oleh berbagai studi kasus, sebagian dilaporkan oleh freud dan sebagian lainnya oleh pengikutnya. Meski demikian, jarangnya gangguan konvensi pada mas kontemporer membuat pelaksanaan studi terkontrol dari teknik psikoanalitik ini menjadi sulit.
Pendekatan behavioral untuk menangani gangguan konversi dan gangguan somatoform lainnya menekankan pada menghilangkan sumber dari reinforcement sekunder (atau keuntungan sekunder) yang dapat dihubungkan dengan keluhan-keluhan fisik. Anggota keluarga dan yang lainnya, misalnya, sering mempersepsikan individu yang menderita gangguan somatisa sebagai penyakitnya, rentan dan tidak mampu melaksanakan tanggung jawab yang normal. Orang lain mungkin tidak sadar betapa mereka telah menguatkan perilaku yang bergantung dan mengeluh itu saat mereka membebaskan orang yang sakit tersebut dari tanggung jawab. Terapis behavioral dapat mengajarkan anggota keluarga untuk menghargai usaha memenuhi tanggung jawab dan mengabaikan tuntutan dan keluhan. Terapis behavioral juga dapat bekerja secara lebih langsung dengan si penderita gangguan somatoform, membantu orang tersebut belajar dalam mengatasi stres atau kecemasan dengan cara yang lebih adaptif (melalui relaksasi dan restrukturisasi kognitif, misalnya). Pemaparan terhadap pencegahan respons dan terapi kognitif juga telah mencapai keberhasilan yang baik dalam menangani hipokondriasis dalam beberapa percobaan terkini. Teknik kognitif, seperti restrukturisasi kognitif, digunakan untuk mengubah keyakinan pasien yang berhubungan dengan penyakit yang dibesar-besarkan, sementara pemaparan terhadap pencegahan respons digunakan untuk memutus lingkaran pergi ke dokter-dokter dalam upaya meyakinkan diri kembali saat keluhan fisik yang minor muncul.
Teknik kognitif-behavioral, paling sering pemaparan terhadap pencegahan respons dan restrukturisasi kognitif, juga mencapai hasil yang memberikan harapan daam menangani gangguan dismorfik tubuh. Pemaparan dapat dilakukan dengan cara sengaja memunculkan kerusakan yang dipersepsikan didepan umum, dan bukan menutupinya melalui penggunaan rias wajah atau pakaian. Pencegahan respons berfokus pada pemutusan ritual kompulsif, seperti memeriksa di depan cermin (misalnya, dengan menutup semua cermin dirumah), dan berdandan yang berlebihan. Dalam restrukturisasi kognitif, terapis menantang keyakinan klien yang terdistorsi mengenai penampilan fisiknya dengan cara menyemangati mereka untuk mengevaluasi keyakinan mereka dengan bukti yang jelas.
     Perhatian akhir-akhir ini beralih pada penggunaan antidepresan, terutama (prozac), dalam menangani beberapa tipe gangguan somatoform. Meski kita kekurangan terapi obat yang spesifik untuk gangguan konversi (simon, 1998), sebuah penelitian terhadap 16 pasien hipokondriasis menunjukkan penurunan yang berarti terhadap keluhan-keluhan hipokondriakal setelah percobaan selama 12 minggu dengan prozac. Lagi-lagi, disini, kurangnya penelitian mengenai obat plasebo yang terkontrol menghalangi penyimpulan yang tegas atas kemanjuran terapi obat. Penelitian yang sistematis mengenai pendekatan untuk menangani gangguan factitious (sindrom munchausen) juga kurang dan terbatas pada sedikit contoh kasus.



BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
Kata somatoform diambil dari bahasa Yunani sama, yang berarti “tubuh”. Dalam gangguan somatoform (somatoform disorder), orang memiliki simtom fisik yang mengingatkan pada gangguan fisik, namun tidak ada abnormalitas organik yang dapat ditemukan sebagai penyebabnya. Ada beberapa macam bentuk gangguan somatoform. Hipokondriasis adalah sebuah kondisi di mana individu percaya bahwa diinya menderita penyakit serius dan menjadi sangat cemas akan kemungkinan itu. Gangguan somatisasi di tandai dengan oleh pola keluhan fisik yang beraneka ragam dan tidak ada hentinya, yang mendominasi kehidupan individu dan hubungan interpersonalnya. Pada gangguan konversi terdapat malfungsi fisik, seperti kelumpuhan, tanpa adanya massalah fisik yang nyata. Pada gangguan nyeri, faktor-faktor psikologis dinilai berperan besar dalam terusbertahanya penderitaan fisik. Pada body dismorphic disorder  (BDD) (gangguan dismorfik tubuh), orang tampak normal secara obsesif disibukkan oleh bayangan tentang kekurangan atu keburukan dalam penampilanya.penyebab ganggiuan somatoform belum dipahami sepenuhnya, tetepi sebagian diantaranya, termasuk hipokondriasis dan BDD, tampaknya berhubungan erat dengan gangguan kecemasan.






Daftar Pustaka
NEVID. JEFFREY. S. Dkk. 2006. PSIKOLOGI ABNORMAL. Jakarta. ERLANGGA
Durand. V. Mark. Dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Yogyakarta. PUSTAKA PELAJAR


[1] JEFFREY S. NEVID, dkk, PSIKOLOGI ABNORMAL (Jakarta: ERLANGGA), hlm. 215
[2] V. Mark Durand, dkk, Psikologi Abnormal (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2006), hlm. 223-224.
[3] V. Mark Durand, dkk, Psikologi Abnormal (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2006), hlm. 226
[4] V. Mark Durand, dkk, Psikologi Abnormal (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2006), hlm. 228.
[5] JEFFREY S. NEVID, dkk, PSIKOLOGI ABNORMAL (Jakarta: ERLANGGA), hlm. 218
[6] V. Mark Durand, dkk, Psikologi Abnormal (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2006), hlm. 233-234.
[7] V. Mark Durand, dkk, Psikologi Abnormal (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2006), hlm. 237.
[8] V. Mark Durand, dkk, Psikologi Abnormal (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2006), hlm. 239-240.
[9] V. Mark Durand, dkk, Psikologi Abnormal (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2006), hlm. 240.
[10] JEFFREY S. NEVID, dkk, PSIKOLOGI ABNORMAL (Jakarta: ERLANGGA), hlm. 221.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

shuhbah, futuwah dan itsar

keutamaan shuhbah, futuwah dan itsar BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Sahabat adalah orang yang bertemu langsung dengan Rasulullah SAW, sehingga dalam   pembahasan ilmu hadist, para sahabat sangat berperan eksistensinya. Karena para sahabat   merupakan orang yang pertama langsung bertemu dengan Rasul dan hidup di zaman Rasulullah saw., Para sahabat inilah yang meriwayatkan hadist, sebab dia mendengar dan melihat perbuatan apa yang Rasulullah lakukan di zaman hidupnya. Para sahabat sangat berperan sebagai pengganti yang melanjutkan tugas Rasulullah Saw., setelah rasul wafat. Mereka melakukan penyebaran dakwah dengan segala resiko dan tantangan yang harus dihadapinya. Sahabat Rasulullah merupakan generasi yang paling mulia, karena mereka menerima pendidikan secara langsung dari Rasulullah Saw., disamping terdidik dalam suasana wahyu, mereka pula yang menjaga sunnah Rasulullah terpelihara. Sehingga dapat sampai dan berekembang kepad...

MANUSIA MAKHLUK BI-DIMENSIONAL

MANUSIA MAKHLUK BI-DIMENSIONAL Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Bimbingan Konseling Dosen Pengampu : Prof. Dr. H.M Amin Syukur, M.A. JURUSAN TASAWUF PSIKOTERAPI FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2017 BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Manusia merupakan satu bagian dari alam semesta yang bersama-sama dengan makhluk hidup lainnya mengisi kehidupan di alam semesta ini. Dibandingkan dengan binatang, manusia memiliki fungsi tubuh dan fisiologis yang tidak berbeda. Namun, dalam hal yang lain manusia tidak dapat disamakan dengan binatang, terutama dengan kelebihan yang dimilikinya, yakni akal, yang tidak dimiliki oleh binatang. Para ahli ilmu pengetahuan tidak memiliki kesamaan pendapat mengenai manusia. Perbedaan pendapat ini disebabkan oleh adanya kekuatan dan peran multidimensional yang diperankan oleh manusia. Mereka melihat manusia hanya...

tuma'ninah, musyahadah dan ma'rifat

PEMBAHASAN A. Tuma’ninah الطمأنينة ) Secara bahasa tuma’ninah berarti tenang dan tentram. Tidak ada rasa was-was atau kawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Thuma’ninah adalah suasana ketentraman hati karena terpengaruh oleh sesuatu yang lain. Menurut al-Sarraj tuma’ninah sang hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya dan bersih ingatannya. Seseorang yang telah mendapatkan hal ini sudah dapat berkomunikasi langsung dengan Allah SWT. Menurut ibnu Qayyim, “kebenaran adalah identik dengan ketentraman, sedangkan kebohongan adalah identik dengan keraguan dan kegelisahan.” Nabi juga bersabda, kebenaran adalah sesuatu yang menenangkan hati. Thuma’ninah Waktu shalat adalah waktu singkat yang sangat berharga bagi seorang muslim, karena ia sedang menghadap dan bermunajahat kepada Rabbnya yang Maha Tinggi dan Maha Tinggi dan Maha Agung oleh karena itu hendaknya berusaha untuk mening...