MAKALAH
Gangguan Somatoform
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata
Kuliah : Psikologi Abnormal
Dosen Pengampu : Sri Rejeki S.
Sos.I, M.Si
Disusun :
1.
M.
Dzikron (
124411033 )
2.
Nahrul
Hayat ( 1604046090
)
3.
Dani
zulfa yuliana ( 1604046102
)
4.
Devi
Ria Ayumawaddah ( 1604046110 )
TASAWUF
DAN PSIKOTERAPI
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGRI WALISONGO SEMARANG
2017/2018
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Somatoform Disorder ini merupakan gangguan psikologis yang melibatkan
keluhan akan simtom – simtom fisik, dan mengartikan secara berlebihan makna
dari simtom fisiknya itu, yang diyakini sebagai suatu “penyakit” yang serius
namun tidak dibenarkan oleh dokter. Yang artinya dokter meyakini tidak ada
penyakit yang serius yang dideritanya. Dissociative disorder ini adalah sebuah
tipe gangguan psikologis yang menganggu fungsi self – identitas, memori, atau
kesadaran, yang kemudian membentuk sebuah kepribadian yang utuh. Orang yang
mengalami gangguan Disosiatif tidak mengenal dirinya secara eksistensial atau
filosofis, ia hanya tahu, siapa namanya, dimana ia tinggal apa yang ia lakukan
sehari – hari, ia juga ingat peristiwa – peristiwa penting dalam hidupnya, tapi
ia tidak mampu menceritakan secara detail.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian somatoform?
2. Apa
saja gangguan dari somatoform ?
3. Bagaimana
cara penanganan dari somatoform ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Gangguan
Somatoform[1]
Kata somatoform diambil
dari bahasa Yunani sama, yang berarti “tubuh”. Dalam gangguan somatoform
(somatoform disorder), orang memiliki simtom fisik yang mengingatkan pada
gangguan fisik, namun tidak ada abnormalitas organik yang dapat ditemukan
sebagai penyebabnya. Lebih dari itu, ada bukti, atau beberapa
alasan yang dapat dipercaya, bahwa simtom tersebut merefleksikan faktor atau
konflik psikologis. Beberapa orang mengeluhkan masalah dalam bernafas atau
menelan, atau ada yang “menekan didalam tenggorokan. “masalah-masalah seperti
ini dapat merefleksikan aktivitas yang berlebihan dari cabang simpatis sistem
saraf otomik, yang dapat dihubungkan dengan kecemasan. Kadang kala, sejumlah
simtom muncul dalam bentuk yang lebih tidak biasa, seperti “kelumpuhan” pada
tangan atau kaki yang tidak konsisten dengan kerja sistem saraf. Dalam
kasus-kasus lain, orang berfokus pada keyakinan bahwa mereka menderita penyakit
yang serius, namun tidak ada bukti abnormalitas fisik yang dapat ditemukan.
Gangguan somatoform berbeda dengan
malingering, atau kepura-puraan simtom yang bertujuan untuk mendapatkan hasil
yang jelas (seperti menghindari pekerjaan). Gangguan tersebut juga berbeda
dengan gangguan factitious (factitious disorder), yang bentuk paling umumnya
adalah sindrom Munchausen (munchausen syndrome).
B. Macam
Macam Gangguan Somatoform
1. Hipokondriasis[2]
Seperti
banyak istilah lainya dalam psikopatologi, hypokondriasis (hipokondriasis)
memiliki akar yang sudah tua. Bagi orang yunani, “hypochondrya” adalah daerah
di bawah tulang iga, dan organ organ yang ada di wilayah ini mempengaruhi
keadaan mental. Sebagai contoh gangguan usus dan perut pernah dianggap sebagai
bagian sidroma hipokondriakal. hipokondriasis ditandai dengan kecemasan dan
ketakutan memiliki penyakit serius. Dengan demikian, masalah esensialnya adalah
kecemasan, tetapi pengekspresianya berbeda dengan gangguan-gangguan kecemasan
lainya. Pada hipokondriasis, individu terokupasi dengan gejala-gejala
jasmainiah dan salah interpretasikanya sebagai indikasi penyakit. Hampir semua
sensasi fisik menjadi dasar kekhawatiran penderita hipokondriasis. Sebagian
mungkin memfokuskan pada fungsi-funfsi jasmaniah normal seperti detak jantung
atau pernapasan. Sebagian lainya memfokuskan pada abnormalitas fisik ringan,
misal batuk. Sebagian individu memngeluhkan gejala-gejala yang sangat ambigu,
misalnya nyeri atau kelelahan.
Ø Penyebab
Hipokondriasis[3]
Para peneliti dengan berbagai sudut
pandang yang berbeda sepakat mengenai proses-proses psikopatologis yang
berlangsung dalam hipokondriasis. Interpretasi yang keliru terhadap berbagai
tanda dan sensasi fisik yang dianggap sebagai bukti adanya penyakit fisik
tertentu merupakan aspek yang sangat penting. Dengan demikian hampir semua
orang bersepakat bahwa hipokondriasis pada dasarnya sebuah disorder of
cognition or perseption (gangguan
kognisi dan persepsi) dengan kontribusi emosional yang kuat.
Individu-individu penderita
hipokondriasis mengalami sensasi-sensasi fisik yang lumrah dialami semua orang,
tetapi mereka dengan cepat memfokuskan perhatiannya pada sensasi-sensasi ini.
Ingat bahwa tindakan memfokuskan perhatian pada diri sendiri akan meningkatkan
arousal dan membuat sensasi fisik mejadi tampak lebih intens dibanding yang
sesungguhnya. Bila anda juga cenderung salah menginterpretasikan hal ini
sebagai gejala penyakit, maka kecemasan anda akan semakin meningkat. Kecemasan
yang meningkat ini menambahkan gejala-gejala fisik tambahan.
2. Somatisasi[4]
Gangguan somatisasi (somatization disorder)
sebelumnya dikenal sebagai sindrom Briquet dicirikan dengan keluhan somatik
yang beragam dan berulang yang bermula sebelum usia 30 tahun (namun biasanya
pada masa remaja) bertahan paling tidak selama beberapa tahun, dan berakibat
antara menuntut perhatian medis atau mengalami pendaya yang berarti dalam memenuhi
peran sosial atau pekerjaan.
Ciri utama dari hipokondriasis adalah ketakutan akan
penyakit, akan apa yang mungkin diindikasikan oleh simtom tubuh. Orang dengan
gangguan somatisasi sebaliknya, terganggu oleh simtom itu sendiri. Kedua
diagnosis tersebut dapat diberikan pada individu yang sama bila kriteria
diagnostiknya terpenuhi untuk kedua gangguan ini.
Gangguan somasitis melibatkan fokus yang ekstrem dan
berlangsung lama pada berbagai gejala fisik majemuk yang tidak memiliki
penyebab medis yang jelas.
Ø Penyebab
Somasitis[5]
Gangguann somasitis memiliki fitur-firur yang sama
dengan hipokondriasis, termasuk sejarah sakit kronis dalam keluarga atau cedera
yang dialami pada masa kanak-kanak. Tetapi ini merupakan faktor yang kecil,
karena tak terhitung banyaknya keluarga yang mengalami sakit kronis atau cedera
tanpa mewariskan peran sakit kepada anak-anaknya. Torgenden (1986) tidak
menemukan prevalensi gangguan somatisasi yang lebih tinggi pada pasangan
monozigotik, tetapi kebanyakan studi menemukan bukti yang substansial bahwa
gangguan ini mengalir dalam keluarga dan mungkin memiliki dasar keturunan.
Fitur-fitur gangguan somasitis meliputi :
a) Riwayat
banyak keluhan fisik yang mulai muncul sebelum usia 30 tahun, yang berlangsung
selama bertahun-tahun dan menyebabkan individu mencari penanganan untuk
mengatasi masalahnya atau mengalami hendaya signifikan di bidang-bidang fungsi
pentingnya.
b) Menunjukkan
gejala-gejala berikut: empat gejala fisik (dua gejala gestrointensial yang
tidak menimbulkan nyeri (misalnya, mual, diare, kembung), satu gejala seksual
(misalnya, pendarahan menstruasi yang sangat banyak, disfungsi ereksi),satu
gejala pseudoneurologis (misalnya, penglihatan ganda, gangguan koordinasi atau
keseimbangan, sulit menelan)
c) Keluhan-keluhan
fisik tidak dapat dijelaskan sepenuhnya berdasarkan kondisi medis secara umum
atau berdasarkan efek subtansi tertentu (misalnya efek obat atau penyalahgunaan
obat) atau bila ada kondisi medis secara umum, keluhan fisik atau hendayanya
melebihi perkiraanunruk kondisi medis tersebut.
d) Keluhan
atau hendaya tidak di buat secara sengaja atau pura-pura.
Gangguan
somasitasi sangat sulit untuk ditangani dan tidak ada penangananya yang
terbukti efektif untuk memnyembuhkanya.
3. Gangguan
Konversi[6]
Gangguan konversi (konversion disorder) dicirikan
oleh suatu perubahan besar dalam fungsi fisik atau hilangnya fungsi fisik,
mesti tidak ada temuan medis yang dapat ditemukan sebagi penyebab simtom atau
kemunduran fisik tersebut. Simtom fisik itu biasanya timbul tiba-tiba dalam
situasi yang penuh tekanan.
Gangguan konversi secara umum ada hubunganya dengan
malfungsi fisik, seperti kelumpuhan, kebutaan atau kesulitan berbicara (afonia)
tanpa adanya patologi fisik atau organik yang bertanggung jawab atas terjadinya
malfungsi. Sebagian besar gejala konversi menunjukkan bahwa suatu jenis
penyakit neurologis tertentu mempengaruhi sistem sensori motorik, eskipun
gejala-gejala konversinya sendiri dapat meniru semua bentuk malfungsi fisik.
Selain kebutaan, kelumpuhan, dan afonia gejala
konversi juga dapat meliputi gejala kehilangan kemampuan berbicara secara total
dan kehilangan indra perabaan. Sebagian orang mengalami seizure(serangan mendadak seperti pada penderita epilepsi).
Gejala lain yang mungkin bertarif lazim dijumpai adalah globus hystericu, yaitu
sensasi adanya bongkahan di kerongkongan yang membuat penderita mengalaimi
kesulitan untuk menelan, makan atau kadang kadang juga untuk berbicara.
v Penyebab
konversi[7]
Freud mendeskripsikan tentang 4 konsep
dasar dalam perkembangan gangguan konversi.
Ø Pertama
individu mengalami kejadian traumatik- menurut pandanga freud berupa konflik
tak sadar dan tidak dapat diterima.
Ø Kedua
karena baik konflik itu maupun kecemasan yang diakibatkannya tidak dapat
diterima, orang menekan konflik itu dan membuatnya menjadi sesuatu yang berada
di luar kesadaran.
Ø Ketiga
kecemasan terus meningkat dan mengancam untuk muncul kekesadaran, sehingga
orang yang bersangkutan kemudian “mengonversikannya” menjadi gejala-gejala
fisik guna melepaskan diri dari tekanan untuk menghadapi konfliknya secara
langsung.
Ø Ke
empat individu menerima perhatian dan simpati yang lebih besar dari orang-orang
yang dicintainya dan mungkin juga diperbolehkan untuk menghindari situasi tau
tugas yang sulit.
4. Gangguan
nyeri [8]
Gangguan
somatoform terkait yang baru sedikit diketahui hal ihwalnya adalah pain
disorder (ganguan nyeri) pada gangguan nyeri, mungkin pernah ada alasan fisik
yang jelas atas timbulnya nyeri atau rasa sakit itu, paling tidak pada awalnya,
tetapi faktor-faktor psikologis berperan penting dalam mempertahankannya .
salah satu fitur penting gangguan nyeri adalah adanya rasa sakit atau nyeri
yang riil dan benar-benar terasa menyakitkan, terlepas dari apa penyebabnya.
Gangguan
somatoform yang memiliki fitur nyeri riil tetapi baik onset, tingkat keparahan,
maupun persistensinya banyak ditentukan oleh faktor-faktor psikologis. Idap
kanker, nyeri yang dirasakannya mungkin terkait dengan kankernya. Tetapi
sekarang kita tahu bahwa apapun penyebabnya, nyeri itu memiliki komponen
psikologis yang kuat. Bila penanganan medis untuk kondisi-kondisi fisik yang
ada sudah dilakukan dan nyeri itu masih ada, atau bila nyeri itu tampak jelas
berhubungan dengan faktor-faktor psikologis, maka intervensi psikologis lebih
tepat dilakukan. Karna kompleksnya nyeri itu sendiri dan beragamnya narkotik
dan obat-obatan lain yang diresepkan untuk itu.
Ø fitur-fitur
gangguan nyeri meliputi :
a. adanya
nyeri atau rasa sakit serius di satu lokasi anatomis atau lebih.
b. nyeri
itu menyebabkan distress atau hendaya yang signifikan secara klinis.
c. Faktor-faktor
psikologis dinilai berperan pokok dalam onsep, tingkat keparahan, keadaan yang
memperburuk, atau persistensi nyeri.
d. Nyeri
itu bukan pura-pura atau sengaja dibuat.
5. Gangguan
dismorfik tubuh.[9]
Orang dengan gangguan
dismorfik tubuh ( body dismorphic disorder atau BDD) terpaku pada kerusakan
fisik yang dibayangkan atau dibesar-besarkan dalam penampilan mereka. Mereka
dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk memeriksakan diri didepan cermin dan
mengambil tindakan yang ekstrim untuk mencoba memperbaiki kerusakan yang
dipersepsikan, bahkan menjalani operasi plastik yang tidak dibutuhkan. Dapat
membuang setiap cermin dari rumah mereka agar tidak diingatkan akan cacat yang
mencolok dari penampilan mereka. Orang dengan BDD dapat percaya bhwa orang lain
memandang diri mereka jelek atau berubah bentuk untuk menjadi rusak dan bahwa
penampilan fisik mereka yang tidak menarik mendorong orang lain untuk berfikir
negatif tentang karakter atau harga diri mereka sebagai seorang manusia. Orang
dengan BDD sering menunjukkan pola berdandan atau mencuci, atau menata rambut
secara komplusif, dalam rangka mengoreksi kerusa kan yang dipersepsikan.
v Penyebab
dismorfik tubuh.
Ada banyak spekulasi psikoanalitis tentang gangguan
ini, tetapi kebanyakan difokuskan pada mekanisme pertahanan yangbdi sebut
displacement yaitu bahwa konflik tak sadar yang mendasarinya yang terlalu
mencemaskan unruk diakui dalam kesadaran, sehinnga orang yang bersangkutan
memindahkanya (to displce) ke bagian tubuh tertentu. BDD dianggap sebagai
sebuah gangguan somatofrom, karena fitur sentralnya adalah preokupasi
psikologis pada isu-isu somatik. Sebagai contoh, pada hipokondriasis fokusnya
adalah pada sensasi sensasi fisik, sementara di BDD fokusnya adalah pada
penampilan fisik. Para penderita BDD mengeluhkan adanya pikiran-pikiran yang
persisten, intrusif dan mengerikan tentang penampilanya. Mereka juga melakukan
tindakan tindakan komplusif seperti berulang kali melihat ke cermin untuk
memeriksa fitur fisik yang di risaukan.
C. Penanganan Gangguan Somatoform[10]
Pendekatan penanganan yang dirintis oleh
freud, psikoanalisis, dimulai dengan penanganan terhadap histeria, yang
sekarang diistilahkan sebagai gangguan konversi. Psikoanalisis berusaha
mengungkap dan mengangkat konflik tidak sadar yang berasal dari masa kecil ke
dalam perhatian kesadaran. Sekali konflik diungkap dan dilalui, simtom tidak
lagi diperlukan sebagai “penyelesaian secara parsial” dan seharusnya
menghilang. Metode psikoanalitik didukung oleh berbagai studi kasus, sebagian
dilaporkan oleh freud dan sebagian lainnya oleh pengikutnya. Meski demikian,
jarangnya gangguan konvensi pada mas kontemporer membuat pelaksanaan studi
terkontrol dari teknik psikoanalitik ini menjadi sulit.
Pendekatan behavioral untuk menangani
gangguan konversi dan gangguan somatoform lainnya menekankan pada menghilangkan
sumber dari reinforcement sekunder (atau keuntungan sekunder) yang dapat
dihubungkan dengan keluhan-keluhan fisik. Anggota keluarga dan yang lainnya,
misalnya, sering mempersepsikan individu yang menderita gangguan somatisa
sebagai penyakitnya, rentan dan tidak mampu melaksanakan tanggung jawab yang
normal. Orang lain mungkin tidak sadar betapa mereka telah menguatkan perilaku
yang bergantung dan mengeluh itu saat mereka membebaskan orang yang sakit
tersebut dari tanggung jawab. Terapis behavioral dapat mengajarkan anggota
keluarga untuk menghargai usaha memenuhi tanggung jawab dan mengabaikan
tuntutan dan keluhan. Terapis behavioral juga dapat bekerja secara lebih
langsung dengan si penderita gangguan somatoform, membantu orang tersebut
belajar dalam mengatasi stres atau kecemasan dengan cara yang lebih adaptif
(melalui relaksasi dan restrukturisasi kognitif, misalnya). Pemaparan terhadap
pencegahan respons dan terapi kognitif juga telah mencapai keberhasilan yang
baik dalam menangani hipokondriasis dalam beberapa percobaan terkini. Teknik
kognitif, seperti restrukturisasi kognitif, digunakan untuk mengubah keyakinan
pasien yang berhubungan dengan penyakit yang dibesar-besarkan, sementara
pemaparan terhadap pencegahan respons digunakan untuk memutus lingkaran pergi
ke dokter-dokter dalam upaya meyakinkan diri kembali saat keluhan fisik yang
minor muncul.
Teknik kognitif-behavioral, paling
sering pemaparan terhadap pencegahan respons dan restrukturisasi kognitif, juga
mencapai hasil yang memberikan harapan daam menangani gangguan dismorfik tubuh.
Pemaparan dapat dilakukan dengan cara sengaja memunculkan kerusakan yang
dipersepsikan didepan umum, dan bukan menutupinya melalui penggunaan rias wajah
atau pakaian. Pencegahan respons berfokus pada pemutusan ritual kompulsif,
seperti memeriksa di depan cermin (misalnya, dengan menutup semua cermin
dirumah), dan berdandan yang berlebihan. Dalam restrukturisasi kognitif,
terapis menantang keyakinan klien yang terdistorsi mengenai penampilan fisiknya
dengan cara menyemangati mereka untuk mengevaluasi keyakinan mereka dengan
bukti yang jelas.
Perhatian
akhir-akhir ini beralih pada penggunaan antidepresan, terutama (prozac), dalam
menangani beberapa tipe gangguan somatoform. Meski kita kekurangan terapi obat
yang spesifik untuk gangguan konversi (simon, 1998), sebuah penelitian terhadap
16 pasien hipokondriasis menunjukkan penurunan yang berarti terhadap
keluhan-keluhan hipokondriakal setelah percobaan selama 12 minggu dengan
prozac. Lagi-lagi, disini, kurangnya penelitian mengenai obat plasebo yang
terkontrol menghalangi penyimpulan yang tegas atas kemanjuran terapi obat. Penelitian
yang sistematis mengenai pendekatan untuk menangani gangguan factitious
(sindrom munchausen) juga kurang dan terbatas pada sedikit contoh kasus.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kata somatoform diambil dari bahasa
Yunani sama, yang berarti “tubuh”. Dalam gangguan somatoform (somatoform
disorder), orang memiliki simtom fisik yang mengingatkan pada gangguan fisik,
namun tidak ada abnormalitas organik yang dapat ditemukan sebagai penyebabnya.
Ada beberapa macam bentuk gangguan somatoform. Hipokondriasis adalah sebuah
kondisi di mana individu percaya bahwa diinya menderita penyakit serius dan
menjadi sangat cemas akan kemungkinan itu. Gangguan somatisasi di tandai dengan
oleh pola keluhan fisik yang beraneka ragam dan tidak ada hentinya, yang
mendominasi kehidupan individu dan hubungan interpersonalnya. Pada gangguan
konversi terdapat malfungsi fisik, seperti kelumpuhan, tanpa adanya massalah
fisik yang nyata. Pada gangguan nyeri, faktor-faktor psikologis dinilai
berperan besar dalam terusbertahanya penderitaan fisik. Pada body dismorphic
disorder (BDD) (gangguan dismorfik
tubuh), orang tampak normal secara obsesif disibukkan oleh bayangan tentang
kekurangan atu keburukan dalam penampilanya.penyebab ganggiuan somatoform belum
dipahami sepenuhnya, tetepi sebagian diantaranya, termasuk hipokondriasis dan
BDD, tampaknya berhubungan erat dengan gangguan kecemasan.
Daftar
Pustaka
NEVID. JEFFREY. S. Dkk. 2006. PSIKOLOGI ABNORMAL. Jakarta. ERLANGGA
Durand. V. Mark. Dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Yogyakarta. PUSTAKA
PELAJAR
[1] JEFFREY
S. NEVID, dkk, PSIKOLOGI ABNORMAL (Jakarta: ERLANGGA), hlm. 215
[2] V. Mark
Durand, dkk, Psikologi Abnormal
(Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2006), hlm. 223-224.
[3] V. Mark
Durand, dkk, Psikologi Abnormal
(Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2006), hlm. 226
[4] V. Mark
Durand, dkk, Psikologi Abnormal
(Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2006), hlm. 228.
[5] JEFFREY
S. NEVID, dkk, PSIKOLOGI ABNORMAL
(Jakarta: ERLANGGA), hlm. 218
[6] V. Mark
Durand, dkk, Psikologi Abnormal
(Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2006), hlm. 233-234.
[7] V. Mark
Durand, dkk, Psikologi Abnormal
(Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2006), hlm. 237.
[8] V. Mark
Durand, dkk, Psikologi Abnormal
(Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2006), hlm. 239-240.
[9] V. Mark
Durand, dkk, Psikologi Abnormal
(Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2006), hlm. 240.
[10] JEFFREY
S. NEVID, dkk, PSIKOLOGI ABNORMAL
(Jakarta: ERLANGGA), hlm. 221.
Komentar
Posting Komentar