Langsung ke konten utama

hadis sufistik mahabbah


Hadis Sufistik Mahabbah
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga yang sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk ke dalam diri yang dicintai. Karena cinta kepada Allah merupakan tujuan yang paling utama dari segala maqam, dan puncak yang paling tinggi dari semua tingkatan. Tidak ada maqam setelah cinta, kecuali dia adalah buah dan konsekuensinya, seperti kerinduan, rasa suka, ridha dan seterusnya. Dan tidak ada maqam sebelum cinta, kecuali dia mukadimahnya, seperti tobat, sabar, zuhud dan lain-lain. [1]
Cinta tidak memiliki batasan yang jelas, kecuali cinta itu sendiri. Definisi-definisi  justru menambah ketidakjelasannya. Definisi cinta adalah wujudnya. Sebab, definisi adalah milik ilmu pengetahuan. Sementara cinta adalah perasaan yang memenuhi hati orang-orang yang mencintai. Yang ada adalah didalamnya hanyalah perasaan menggebu-gebu.[2] Maka dalam makalah ini akan dikaji mahabbah dari segi hadis-hadis sufistiknya dan aktualisasi dari mahabbahnya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian mahabbah?
2.      Apa hadis-hadis sufistik tentang Mahabbah dan tingkatan Mahabbah?
3.      Bagaimana cara meraih mahabbah dan tanda cinta kepada-Nya?







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Mahabbah
Kata mahabbah berasal dari kata ahabbayuhibbumahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan yang mendalam. Al-mahabbah dapat pula diartikan Al-Wadud, yaitu yang sangat kasih atau penyayang. Pengertian mahabbah adalah cinta yang luhur, suci dan tanpa syarat kepada Allah SWT.[3]
Kebenaran mahabbah adalah bahwa setiap atom dalam diri sang pecinta (muhib) memberi kesaksian atas dasar cintanya kepada Allah. Dari mahabbah inilah berkembang ‘isyq, yakni kerinduan penuh gelora dan terus menerus pada Allah [4].
Seorang sufi lain berkata: “Cinta adalah merasa setuju” maksudnya, taat kepada apa yang diperintahkan Allah kepadanya, tidak melanggar larangan-Nya, dan rela (ridha) terhadap apa-apa yang telah diputuskan (ditetapkan) Allah atas dirinya.
Abu’ Abdillah al-Nabaji berkata: “Cinta adalah suatu kesenangan bagi makhluk, dan merupakan malapetaka bagi tuhan.” Arti malapetaka disini adalah nasib yang ada pada dirimu ia tidak kekal adanya, dengan demikian cinta itu tidak pernah mempunyai alasan/sebab dan orang yang cinta tidaklah mencintai yang disenangi karena sebab dan alasan.
Sahal berkata, “Barang siapa yang mencintai Allah maka ia hidup, tetapi barang siapa yang mencintai selain Allah, maka ia tidak hidup. “arti hidup adalah hidup seseorang itu baik, sebab orang yang mencintai sesuatu berarti mendapat kesenangan/kenikmatan dari apa yang disenanginya, baik yang disukai oleh yang dicintai atau yang dilarang oleh yang dicintainnya. Sedang arti kata terhalang untuk mendapatkan keinginan atau kesenangan, dengan demikian ia akan kehilangan hidupnya[5]. Seorang pemuka sufi berkata cinta adalah kelezatan yang ada makhluk, sedang Allah tidak mempunyai kelezatan, karena dia adalah yang maha menakjubkan dan mengherankan.
Sementara itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa al-Mahabbah adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan ma’rifah, baik dalam kedudukannya maupun dalam pengertiannya. Kalau ma’rifah adalah merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati (al-qalb), maka mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta (roh). Seluruh jiwanya terisi oleh rasa kasih dan cinta kepada Allah. Rasa cinta itu tumbuh karena pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan sudah sangat jelas dan mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Oleh karena itu, menurut al-Ghazali, mahabbah itu manifestasi dari ma’rifah kepada Tuhan[6].
Pendapat yang terakhir ini ada juga benarnya jika dihubungkan dengan tingkatan mahabbah sebagaimana dikemukakan di atas. Apa yang disebut sebagai ma’rifah oleh al-Ghazali itu pada hakikatnya sama dengan mahabbah tingkat kedua sebagai dikemukakan al-Sarraj di atas, sedangkan mahabbah yang dimaksud adalah mahabbah tingkat ketiga. Dengan demikian kedudukan mahabbah lebih tinggi dari ma’rifah

B.     Hadis-hadis Sufitik dan Tingkatan Mahabbahnya
a.       Hadis-hadis Sufistik
احبو الله لما يغلو كم من نعمه واخبو ني يحب الله
“Cintailah Allah atas segala nikmatnya yang Dia berikan kepada kalian. Dan cintailah aku dengan cinta Allah.” (HR. Tirmidzi).

Didalam hadist yang lain dijelaskan:
ثلا ث من كن فيه وجد حلاوة الاءيما ن ان يكون الله ورسو له احب اليه مما سوا هما وان يحب المرء لا يحب الا الله وان يكره ان يعود في الكفر كما يكره ان يقذف في النار
“Ada tiga hal yang dengannya seseorang akan measakan manisnya Iman, 1. Hendaknya Allah dan Rasull_Nya dia cintai daripada selain keduanya, 2. Hendaknya dia mencintainya karena Allah, 3. Hendaknya dia benci untuk kembali kepada kekafiran sebagaimana dia benci untuk dimasukan kedalam Neraka”. (HR. Bukhari)



b.      Tingkatan-tingkatan Cinta
1.      Al- llaqah (gantungan). Dinamakan demkian karena tergantungnya hati pada sang kekasih.
2.      Al- Iradah (keinginan), yaitu condongnya hati kepada Sang Kekasih dan usahanya untuk mencari-Nya.
3.      Ash – Shababah (ketercurahan), yaitu tercurahnya hati pada Sang Kekasih, sehingga pemiliknya tidak dapat menguasainya, sebagaimana tercurahnya air di puncak gunung.
4.      Al- Gharim ( cinta yang menyala-nyala), yaitu cinta yang selalu ada dalam hati dan tidak dapat meninggalkannya. Dia selalu menetap, sebagaimana seorang kekasih yang selalu menetap pada kekasihnya.
5.      Al-Widad ( kelembutan), yaitu kesucian, ketulusan dan isi dari cinta.
6.      Asy- Syaghaf (cinta yang mendalam), yaitu sampainya cinta ke dalam lubuk hati. Junaid berkata,” Asy- Syaghaf adalah, orang yang mencintai tidak melihat pada kekasaran, akan tetapi melihatnya sebagai keadilan dan kesetiaan.
Siksaanmu terhadapku merupakan suatu hal yang sedap bagiku
Dan ketidakadilanmu terhadapku dengan sesuatu yang membinasakan nafsu
Merupakan keadilan bagiku.
7.      Al- Isyq( kerinduan), yaitu cinta yang berlebihan dan pemiliknya dikhawatirkan karenanya.
8.      At-Tayammum, yaitu memperbudak dan merendahkan diri. Dikatakan, “Tayammahu al-hubb”, artinya cinta telah merendakan dan memperbudaknya.
9.      At- Ta’bbud ( penghambaan ), yaitu tingkatan di atas At-Tayammum. Sebab, seorang hamba tidak lagi mempunyai apa-apa pada dirinya.
10.  Al – Khullah . ini hanya dimiliki oleh dua khalil (kekasih), yaitu Ibrahim a.s. dan Muhammad S.a.w. al-khullah artinya cinta yang memenuhi jiwa dan hati orang yang mencintai, sehingga tidak ada lagi tempat di hatinya selain untuk yang dicintainya. [7]





C.     Cara Meraih Mahabbah dan Tanda Cinta Kepada-Nya
a.       Cara Meraih Mahabbah
Menggunakan alat untuk mencintai-Nya.
Harun Nasution, dalam bukunya Falsafah dan Mistisis dalam Islam mengatakan, bahwa alat untuk memperoleh ma’rifah oleh sufi disebut sir ( سرّ ). Dengan mengutip pendapat al-Qusyairi, Harun Nasution mengatakan bahwa dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat dipergunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Pertama, al-qalb(  القلب ) hati sanubari, sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan. Kedua, roh ( الروح ) sebagai alat untuk mencintai Tuhan. Ketiga sir  ( سر ), yaitu alat untuk melihat Tuhan. Sir lebih halus dari pada roh, dan roh lebih halus dari qalb. Kelihatannya sir bertempat di roh, dan roh bertempat di qalb, dan sir timbul dan dapat menerima iluminasi dari Allah, kalau qalb dan roh telah suci sesuci-sucinya dan kosong-sekosongnya, tidak berisi apa pun[8]
Dengan keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk mencintai Tuhan adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan hanya diisi oleh cinta kepada Tuhan.
Roh yang digunakan untuk mencintai Tuhan itu telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia sejak kehidupannya dalam kandungan ketika umur empat bulan. Dengan demikian alat untuk mahabbah itu sebenarnya telah diberikan Tuhan. Manusia tidak tahu sebenarnya hakikat roh itu.
1.      Menjauhi apa-apa yang dapat melepaskan ikatan antara hati dan Allah
2.      Berkhalwat bersama-Nya untuk bermunajat kepada-Nya.
3.      Mengakui semua kebaikan dan nikmat-nikmat-Nya.
4.      Melebihkan semua yang dicintai-Nya atas semua yang engkau cintai ketika engkau dikuasai oleh hawa nafsu, walaupun itu sulit.
5.      Hati yang selalu mengingat nam-naman-Nya dan sifat-sifat-Nya, menyaksikan keagungan-Nya, makrifat kepada-Nya dan berkutat di taman makrifat ini.



b.       Tanda Cinta Kepada-Nya
1.      Senang bertemu kekasih-Nya dengan cara kasyf dan menyaksikannya di surga.
2.      Mengutamakan apa-apa yang dicintai Allah atas apa-apa yang dicintainya, baik dalam lahirnya maupun dalam batinnya.
3.      Memperbanyak zikir kepada Allah.
4.      Berkhalwat dengan Allah, bermunajat kepad-Nya dan membaca kitab-Nya.
5.      Tidak menyesali apa-apa yang hilang darinya, selain Allah dan sangat menyesal jika dia melewatkan waktunya tanpa berdzikir dan taat kepada Allah.
6.      Menikmati ketaatan, tidak menganggapnya berat dan tidak merasakan keberatan.
7.      Merasa takut dan berharap dalam mencintai Allah, di bawah keagungan dan kemulian-Nya. [9]













BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Kata mahabbah berasal dari kata ahabbayuhibbumahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan yang mendalam. Al-mahabbah dapat pula diartikan Al-Wadud, yaitu yang sangat kasih atau penyayang. Pengertian mahabbah adalah cinta yang luhur, suci dan tanpa syarat kepada Allah SWT. Kebenaran mahabbah adalah bahwa setiap atom dalam diri sang pecinta (muhib) memberi kesaksian atas dasar cintanya kepada Allah.
2.      Hadis Sufistik tentang Mahabbah
احبو الله لما يغلو كم من نعمه واخبو ني يحب الله
“Cintailah Allah atas segala nikmatnya yang Dia berikan kepada kalian. Dan cintailah aku dengan cinta Allah.” (HR. Tirmidzi).
3.      Cara Meraih Mahabbah
Harun Nasution mengatakan bahwa dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat dipergunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Pertama, al-qalb(  القلب ) hati sanubari, sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan. Kedua, roh ( الروح ) sebagai alat untuk mencintai Tuhan. Ketiga sir  ( سر ), yaitu alat untuk melihat Tuhan. Sir lebih halus dari pada roh, dan roh lebih halus dari qalb.

B.     Kritik dan saran
                  Kami menyadari akan adanya kekurangan dari segi sistematika dan kontennya. Maka dari itu masukan dan kritiknya demi kebaikan kami kedepannya sangat kami harapkan.




Daftar Pustaka

Armstrong, Amatullah. Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf.      
        Bandung: Mizan Media Umum. 2001
IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Sumatera Utara, 1983/1984)

Isa, Syaikh ‘Abdul Qadir. Hakekat Tasawuf. Jakarta: Qishi press. 2005.
Shaliba, Jamil. al-Mu'jam al-Falsafy. Jilid II. Mesir: Dar al-Kitab. 1978
Yani, Ahmad.  Be Excellent: Menjadi Pribadi Terpuji. Jakarta: Al Qalam. 2007



[1] Syaikh ‘Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, hlm. 277.
[2] Ibid.,
[3] Jamil Shaliba, al-Mu'jam al-Falsafy, Jilid II, (Mesir: Dar al-Kitab, 1978) Hlm. .439.
[4] Amatullah Armstrong, Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf (Bandung: Mizan Media Umum, 2001) hlm 116.
[5] Ahmad yani, Be Excellent: Menjadi Pribadi Terpuji (Jakarta: Al Qalam,2007) Hlm 150.
[6] IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Sumatera Utara, 1983/1984), hlm.125.
[7] Syaikh ‘Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, hlm. 287.
[8] op. cit. , Harun Nasution, hlm. 77.
[9] Syaikh ‘Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, hlm. 285.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

shuhbah, futuwah dan itsar

keutamaan shuhbah, futuwah dan itsar BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Sahabat adalah orang yang bertemu langsung dengan Rasulullah SAW, sehingga dalam   pembahasan ilmu hadist, para sahabat sangat berperan eksistensinya. Karena para sahabat   merupakan orang yang pertama langsung bertemu dengan Rasul dan hidup di zaman Rasulullah saw., Para sahabat inilah yang meriwayatkan hadist, sebab dia mendengar dan melihat perbuatan apa yang Rasulullah lakukan di zaman hidupnya. Para sahabat sangat berperan sebagai pengganti yang melanjutkan tugas Rasulullah Saw., setelah rasul wafat. Mereka melakukan penyebaran dakwah dengan segala resiko dan tantangan yang harus dihadapinya. Sahabat Rasulullah merupakan generasi yang paling mulia, karena mereka menerima pendidikan secara langsung dari Rasulullah Saw., disamping terdidik dalam suasana wahyu, mereka pula yang menjaga sunnah Rasulullah terpelihara. Sehingga dapat sampai dan berekembang kepad...

MANUSIA MAKHLUK BI-DIMENSIONAL

MANUSIA MAKHLUK BI-DIMENSIONAL Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Bimbingan Konseling Dosen Pengampu : Prof. Dr. H.M Amin Syukur, M.A. JURUSAN TASAWUF PSIKOTERAPI FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2017 BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Manusia merupakan satu bagian dari alam semesta yang bersama-sama dengan makhluk hidup lainnya mengisi kehidupan di alam semesta ini. Dibandingkan dengan binatang, manusia memiliki fungsi tubuh dan fisiologis yang tidak berbeda. Namun, dalam hal yang lain manusia tidak dapat disamakan dengan binatang, terutama dengan kelebihan yang dimilikinya, yakni akal, yang tidak dimiliki oleh binatang. Para ahli ilmu pengetahuan tidak memiliki kesamaan pendapat mengenai manusia. Perbedaan pendapat ini disebabkan oleh adanya kekuatan dan peran multidimensional yang diperankan oleh manusia. Mereka melihat manusia hanya...

tuma'ninah, musyahadah dan ma'rifat

PEMBAHASAN A. Tuma’ninah الطمأنينة ) Secara bahasa tuma’ninah berarti tenang dan tentram. Tidak ada rasa was-was atau kawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Thuma’ninah adalah suasana ketentraman hati karena terpengaruh oleh sesuatu yang lain. Menurut al-Sarraj tuma’ninah sang hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya dan bersih ingatannya. Seseorang yang telah mendapatkan hal ini sudah dapat berkomunikasi langsung dengan Allah SWT. Menurut ibnu Qayyim, “kebenaran adalah identik dengan ketentraman, sedangkan kebohongan adalah identik dengan keraguan dan kegelisahan.” Nabi juga bersabda, kebenaran adalah sesuatu yang menenangkan hati. Thuma’ninah Waktu shalat adalah waktu singkat yang sangat berharga bagi seorang muslim, karena ia sedang menghadap dan bermunajahat kepada Rabbnya yang Maha Tinggi dan Maha Tinggi dan Maha Agung oleh karena itu hendaknya berusaha untuk mening...