Jiwa
Keagamaan Dewasa Dan Lansia
Bab
I
Pendahuluan
A.
Latar
belakang
Manusia adalah makhluk yang eksploratif dan
potensial. manusia juga disebut makhluk yang memiliki
prinsip tanpa daya, karena untuk tumbuh dan berkembang secara normal manusia
memerlukan bantuan dari luar dirinya. Bantuan dimaksud antara lain dalam bentuk
bimbingan dan pengarahan dari lingkungannya.
Pengarahan yang tidak searah dengan potensi yang dimiliki akan berdampak negative
bagi perkembangan manusia.
Perkembangan yang negative tersebut akan
terlihat dalam berbagai sikap dan tingkah laku yang menyimpang. Bentuk dan
tingkah laku menyimpang ini terihat dalam kaitannya dengan kegagalannya manusia
untuk memenuhi kebutuhan, baik bersifat fisik maupun psikis. Sehubungan dengan
hal itu, maka dalam mempelajari perkembangan jiwa keagamaan perlu dilihat
terlebih dahulu kebutuhan-kebutuhan manusia secara menyeluruh. Sebab pemenuhan
kebutuhan yang kurang seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani akan
menyebabkan timbulnya ketimpangan dalam perkembangan.
Para ahli psikologi perkembangan membagi-bagi
perkembangan manusia berdasarkan usia menjadi beberapa tahapan atau periode
perkembangan. Secara garis besarnya periode perkembangan itu dibagi menjadi: 1)
masa prenatal; 2) masa bayi; 3) masa kanak-kanak; 4) masa pra pubertas; 5) masa
pubertas; 6) masa dewasa; 7) masa usia lanjut, yang pada setiap tahap
perkembangannya memiliki ciri-ciri tersendiri termasuk perkembangan jiwa
keagamaan.
Sehubungan dengan kebutuhan manusia dari periode
perkembangan tersebut, maka dalam kaitanna dengan perkembangan jiwa keagamaan
akan dilihat bagaimana pengaruh timbal balik antara keduanya. Dengan demikian,
perkembangan jiwa keagamaan akan dilihat dari tingkat usia.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
sikap keberagamaan pada orang dewasa?
2.
Bagaimana perkembangan manusia usia lanjut dan
agamanya?
3.
Bagaimana
perlakuan terhadap usia lanjut menurut islam?
Bab II
Pembahasan
A.
Sikap
Keberagamaan Menurut Orang Dewasa
Charlotte
Buchler melukiskan tiga masa perkembangan [1]pada
periode pra pubertas, periode pubertas, dan periode adolesen dengan semboyan
yang merupakan ungkapan batin mereka.
Menurut H. Carl Withrington, diperiode adolesen ini pemilihan terhadap
kehidupan medapat perhatian yang tegas. Sekarang mereka mulai berpikir tentang
tanggung jawab, sosial moral, ekonomis, dan keagamaan. Diusia dewasa biasanya
seseorang sudah memiliki sifat kepribadian yang stabil. Stabilisasi sifat-sifat
kepribadian ini antara lain terlihat dari cara bertindak dan bertingkah laku
yang agak bersifat tetap (tidak mudah berubah-ubah) dan selalu berulang
kembali.
Kemantapan
jiwa orang dewasa ini setidaknya memberikan gambaran tentang bagaimana sikap
keberagamaan pada orang dewasa. Mereka sudah memiliki tanggung jawab terhadap
sistem nilai yang dipilihnya, baik sistem nilai yang bersumber dari ajaran
agama maupun yang bersumber dari norma-norma lain dalam kehidupan. Pokoknya,
pemilihan nilai-nilai tersebut telah didasarkan atas pertimbangan pemikiran
yang matang. Berdasarkan hal ini, maka sikap keberagamaan seorang diusia dewasa
sulit untuk diubah. Jikapun terjadi perubahan mungkin proses itu terjadi stelah
didasarkan atas pertimbangan yang matang.
Sikap
keberagamaan orang dewasa memiliki perspektif yang luas didasarkan atas
nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu,
sikap keberagamaan ini umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengertian dan
perluasan pemahaman tentang ajaran agama yang dianutnya. Sejalan dengan tingkat
perkembangan usianya, maka sikap keberagamaan pada orang dewasa antara lain
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Menerima
kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar
ikut-ikutan.
2.
Cenderung
bersifat realis, sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam
sikap dan tingkah laku.
3.
Bersikap
positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari
dan memperdalam pemahaman keagamaan.
4.
Tingkat
ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga
sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup.
5.
Bersikap
lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
6.
Bersikap
lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain
didasarkan atas pertimbangan pikiran juga didasarkan atas pertimbangan hati
nurani.
7.
Sikap
keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing,
sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta
melaksakan ajaran agama yang diyakininya.
8.
Terlihat
adanya hubungan antara sikap keberagamaan
dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentingan
organisasi sosial sudah berkembang.
B.
Manusia
Usia Lanjut dan Agama
Usia
lanjut (old age) [2]adalah
istilah untuk tahap akhir dari proses penuaan. Semua makhluk hidup memiliki
siklus kehidupan menuju tua yang diawali dengan proses kelahiran, kemudian
tumbuh menjadi dewasa dan berkembangbiak, selanjutnya menjadi semakin tua dan
akhirnya meniggal. Usia lanjut ini biasanya dimulai pada usia 65 tahun. Masa
usia lanjut merupakan masa yang tidak bisa dielakkan oleh siapapun khususnya
bagi yang dikaruniai umur panjang. Yang bisa dilakukan oleh manusia hanyalah
menghambat proses menua agar tidak terlalu cepat, karena pada hakikatnya dalam
proses menua terjadi suatu kemunduran atau penurunan. Ada dua pendekatan yang sering
digunakan untuk mengidentifikasi kapan
seseorang dikatakan tua, yaitu pendekatan biologis dan pendekatan kronologis.
Usia biologis adalah usia yang didasarkan pada kapasitas fisik atau biologis
seseorang, sedangkan usia kronologis adalah usia seseorang yang didasarkan pada
hitungan umur seseorang.
Kehidupan keagamaan pada usia lanjut menurut hasil
penelitian psikologi agama oleh Cavan ternyata meningkat. Dari sebuah penelitian
dengan sample 1.200 orang berusia antara 60-100 tahun menunjukkan bahwa ada
kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan yang semakin meningkat.
Sementara pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat baru muncul
sampai 100% setelah usia 90 tahun. Temuan
menunjukkan secara jelas kecenderungan-kecenderungan untuk menerima pendapat
keagamaan yang semakin meningkat pada umur-umur ini. Sedangkan, pengakuan
terhadap realitas tentang kehidupan akhirat baru muncul sampai 100% setelah
usia 90 tahun.
Ciri-ciri
keberagamaan usia lanjut:
1.
Kehidupan
agama usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan.
2.
Meningkatnya
kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3.
Mulai
muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara lebih
sungguh-sungguh.
4.
Sikap
keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama
manusia.
5.
Timbul
rasa takut terhadap kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia
lanjut.
6.
Perasaan
takut pada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap dan
kepercayaan adanya kehidupanabadi(akhirat).
C.
Perlakuan terhadap Usia Lanjut menurut Islam
Manusia
usia lanjut dalam penilian banyak orang adalah manusia yang sudah tidak
produktif lagi. kondisi fisik rata-rata sudah menurun, sehingga dalam kondisi
yang sudah uzur ini berbagai penyakit siap untuk menggerogoti mereka.
Menurut Rita L.Atkinson, sebagian besar orang-orang
yang berusia lanjut (usia 70-79 tahun) menyatakan tidak merasa dalam
keterasingan-keterasingan dan masih menunjukkan aktivitas yang positif. Tetapi,
perasaan itu muncul setelah mereka memperoleh bimbingan semacam terapi psikologis.
Kajian psikologi berhasil mengungkapkan bahwa diusia melewati setengah baya,
arah perhatian megalami perubahaan yang mendasar. Bila sebelumnya perhatian
diarahkan pada kenikmatan materi dan duniawi, maka pada peralihan keusia tua
ini, perhatian lebih tertuju kepada upaya menemukan ketenangan batin. Sejalan
dengan perubahan itu maka masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan
akhirat mulai menarik perhatian mereka.
Perubahan orienasi ini antara lain disebabkan oleh
pengaruh psikologis. Disatu pihakkemampuan fisik pada usia tersebut sudah
mengalam penurunan. Sebaliknya dipihak
lain, mereka memiliki khazanah pengalaman yang kaya. Kejayaan masalalu yang
pernah diperoleh sudah tidak lagimemproleh perhatian, karena secara fisk mereka
dinilai sudah lemah. Kesenjangan ini menimbulkan gejolak dan kegelisahan batin.
Gejala psikologis yang ditapilkan manusia usia senja
ini daalah berupa pernyataan –pernyataan kontraversial dan kritik terhadap
hasil kerja generasi muda. Mereka seakan sulit untuk mengemukakan pujian sukses
maupun prestasi yang dicapai oleh generasi muda ini dalam berbagai bidang. Oleh
karena itu, kelompok usia ini sulit hidup akur dan berdampimgan dengan generasi
muda. Ada semacam kecenderungan dalam diri mereka untuk senantiasa dipuji dan
dibanggakan.
Upaya untuk memberikan perlakuan manusiawi kepada para
manusia usia lanjut dilakukan dengan menempatkan mereka dipanti jompo. Di panti
ini, para manusia manusia usia lanjut mendapat perawatan yang intensif.
Sebaliknya, dilingkungan keluarga karena kesibukan tak jarang anak anak serta
sanak keluarga tidak memberi kesempatan untuk memberikan perawatan yang sesuai
dengan kebutuhsn para manusia usia lanjut. Perbedaan ini menimbulkan
ketidakharmonisan dalam keluarga yang terdapat manusia usia lanjut. Kondisi
seperti ini sangat menyulitkan. Sedangkan dipihak keluarga, baik anak dan
menantu menginginkan agar orang tua mereka terawat dengan baik. Maka, jalan
atau solusi yang terbaru adalah menempatkan para manusia usia lanjut itu
dipanti jompo yang memang disediakan untuk menampung dan merawat mereka.
Tradisi ini umumnya menilai penempatan orang tua
mereka dipanti jompo merupakan cerminan dari rasa kasih sayang anak kepada
orang tua. Sebaliknya, membiarkan orang tua yang berusia lanjut tetap berada
dilingkungan keluarga cenderung dianggap sebagai menelantarkannya. Sebab,
umumnya para orang tua yang tinggal dilingkungan keluarga berada pada
kesendirian, sedangkan di panti jompo mereka selain dirawat juga dapat
berkumpul dengan teman sebaya sesam usia lanjut.
Lain halnya dengan konsep yang dianjurkan dalam islam,
perlakuan terhadap manusia usia lanjut dianjurkan seteliti dan setelaten
mungkin. Perlakuan terhadap orang tua usia lanjut dibebankan kepada anak anak
mereka, bukan kepada badan atau panti asuhan, termasuk panti jompo. Perhatian
perlakuan menurut tuntunan islam berawal dari rumah tangga. Allah menyebutkan
pemeliharaan secara khusus orang tua yang sudah lanjut usia dengan
memerintahkan kepada anak anak mereka untuk memperlakukan orang tua mereka
dengan kasih sayang.
Sebagai pedoman dalam memberi perlakuan yang baik
kepada orang tua, Allah menyatakan :
“Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua
duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “Ah” dan jangan kamu membentak mereka
dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS Al -Isra: 23).
Selanjutnya, Al-quran melukiskan perlakuan terhadap
kedua orangtua:
“ Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayagan
dan ucapkanlah: Wahai tuhanku, kasihilah mereka berdua, sebagimana mereka
berdua telah mengasihi dan mendidikku waktu kecil.( Qs Al-Isra: 24).
Menurut Ibnu Jarir dan Ibnu Al Mundzir yang dimaksud
dengan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan pebuh kesayangan dalah
tunduk kepada kedua orangtua sebagaimana tunduknya kepada tuannya yang bengis
dan keras.(Thoha Abdullah Al-Afifi, 1985:50-51)
Dari penjelasan diatas tergambar bagaimana perlakuan[3]
terhadap manusia usia lanjut menurut islam.
Manusia usia lanjut dipandang tak ubahnya seorang bayi yang memerlukan
pemeliharaan dan perawatan seta perhatian khusus dengan penuh kasih sayang.
Perlakuan yang demikian itu tidak dapat diwakilkan kepada siapapun, melainkan
menjadi tanggung jawab anak-anak mereka. Perlakuan yang baik dan penuh
kesabaran serta kasih sayang dinilai sebagai kebaktian. Sebaliknya, perlakuan
yang tercela dinilai sebagai kedurhakaan.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa perlakuan terhadap
manusia usia lanjut menurut islam merupakan kewajiban agama, maka sangat
tercela dan dipandang durhaka bila seorang anak tega menempatkan orangtuanya
ditempat penampungan atau panti jompo. Alasan apapun tidak dapat diterima bagi
perlakuan itu.
Bab III
Penutup
Kesimpulan
Kemantapan
jiwa pada orang dewasa ditandai dengan mereka
sudah memiliki tanggung jawab terhadap sistem nilai yang dipilihnya, baik
sistem nilai yang bersumber dari ajaran agama maupun yang bersumber dari
norma-norma lain dalam kehidupan. Pemilihan nilai-nilai tersebut telah
didasarkan atas pertimbangan pemikiran yang matang.
Secara umum mengatakan bahwa usia lanjut ini dimulai pada usia 65
tahun. Ciri-ciri keagamaan pada usia lanjut diantaranya, Kehidupan keagamaan pada
usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan, Meningkatnya kecenderungan untuk
menerima pendapat keagamaan, Mulai muncul pengakuan terhadap realistis tentang
kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh, Sikap keagamaan cenderung
mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama manusia, serta sifat-sifat
luhur, Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan
pertambahan usia lanjutnya, Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada
peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya
kehidupan abadi (akhirat).
Di dalam Islam Perlakuan terhadap manusia usia
lanjut dianjurkan seteliti dan seteladan mungkin. Perlakuan terhadap
orang tua yang berusia lanjut, dibebankan pada keluarga mereka, bukan kepada
badan atau panti asuhan, termasuk panti jompo. Sehingga merawat orang tua
dalam usia lanjut merupakan kewajiban bagi anak-anak maupun sanak keluarganya,
yakni dengan cara-cara yang diajarkan di dalam alQur’an dan Sunnah Rasul.
Daftar pustaka
Jalaluddin. Psikologi Agama
memahami perilaku dengan mengaplikasikan prinsip-prinsip psikologi. 2012.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Partini Suardiman, Siti. Psikologi
Usia Lanjut. 2016. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press.
[1]
Prof.Dr.H. Jalaluddin. Psikologi Agama memahami perilaku dengan
mengaplikasikan prinsip-prinsip psikologi. 2012. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada. Hlm 106-109.
[2] Siti
Partini Suardiman. Psikologi Usia Lanjut. 2016. Jogjakarta: Gadjah Mada
University Press. Hlm 1-3.
[3]
Prof.Dr.H. Jalaluddin. Psikologi Agama memahami perilaku dengan
mengaplikasikan prinsip-prinsip psikologi. 2012. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada. Hlm 115-121.
Komentar
Posting Komentar