Konsep Nafs
BAB
I
Pendahuluan
A. LATAR BELAKANG
Di dalam
al-Qur’an surat al-Dzuriyat ayat 21 Allah berfirman: “Dan tentang anfus
kalian, apakah kalian tidak memperhatikan (untuk menganalisisny”). Seruan
Allah ini mengisyaratkan bahwa betapa pentingnya menganalisis diri pribadi (anfus)
manusia. Di dalam al-Qur’an telah cukup banyak diterangkan tentang konsep
manusia. Salah satu yang diterangkan dalam al-Qur’an adalah tentang
rahasia-rahasia yang ada dalam diri manusia (anfus), sebagaimana firman
Allah dalam surat Fushilat ayat 53, yang artinya: “Kami perlihatkan kepada
mereka tanda-tanda kekuasaan Kami pada seluruh ufuk dan di dalam “anfus”mu
sendiri, sehingga jelas bahwasannya al-Qur’an itu benar”.
Di dalam
ayat tersebut terdapat kata anfus jama’ dari kata nafs yang banyak
disebut dalam al-Qur’an. Konsep tentang nafs dalam al-Qur’an banyak
variasi maknanya. Hal itu disebabkan karena berasal dari bervariasinya makna
katakata nafs itu sendiri dalam sumbernya, yaitu berbagai ayat dalam
al-Qur’an. Quraish Shihab berpendapat, bahwa kata nafs dalam al-Qur’an
mempunyai aneka makna, sekali diartikan sebagai totalitas manusia (QS:5;32),
tetapi di tempat lain nafs menunjuk kepada apa yang terdapat dalam diri
manusia yang menghasilkan tingkah laku (QS:13;11). Namun, secara umum dapat dikatakan
bahwa nafs dalam konteks pembicaraan manusia, menunjuk kepada sisi dalam
manusia yang berpotensi baik dan buruk.
Berdasarkan hal diataslah, maka perlu dibahas
suatu konsep tentang hakekat manusia yang tertera dalam ayat-ayat al-Qur’an
yang berbunyi nafs. Pembahasan tentang nafs sangat menarik untuk
dikaji, karena di dalam al-Qur’an cukup banyak menyebutnya. Hal ini menandakan
bahwa pribadi manusia atau nafs itu sangat penting untuk dibahas dan
dianalisis.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian nafs ?
2.
Bagaimana konsep nafs
dalam Al- Qur’an ?
3.
Apa saja tingkatan nafs?
BAB
II
Pembahasan
A. Pengertian
Nafs
Secara lateral atau harfiah, nafs berarti esensi, dan esensi sesuatu disebut jiwa sesuatu atau
realitas (haqiqah)-nya. Dalam terminologi Aristotelian, kata itu berarti jiwa,
entah jiwa itu sebersifat material, misalnya saja jiwa nabati dan jiwa hewani,
atau bersifat abstrak, misalnya saja jiwa benda-benda samawi dan jiwa rasional
manusia. Dalam terminologi etika, nafs
berarti khayalan dan angan-angan palsu dari ego manusia yang terpisah dan
independen. Kata ini juga berarti jiwa jasmani atau hawa nafsu atau tempat
nafsu, berbagai hasrat dan keinginan. [1] al-Qur’an
menegaskan bahwa nafs mempunyai
potensi positif dan negatif (kejahatan, ketakwaan), di dalam al-Quran terdapat
pula isyarat bahwa pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat dari
potensi negatifnya, hanya saja daya Tarik keburukan lebih kuat daripada daya
tarik kebaikan. Sehingga manusia diperintahkan untuk tidak mengotori nafs agar tidak tergolong menjadi
orang-orang yang merugi.
Sementara menurut pandangan kaum sufi, pendapat
al-qusyari yang dikutip oleh Quraish Shihab dikatakan bahwa,”nafs dalam pengertian kaum sufi adalah
sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk”. Pengertian kaum sufi
ini sama dengan penjelasan kamus besar bahasa Indonesia yang menjelaskan arti
kata nafsu, sebagai “dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik”.
Kata nafs
dan derivatnya didalam alquran berjumlah sekitar 300-an ayat memiliki beberapa
makna,[2]
antara lain:
·
Nafs
yang dimaknai sebagai spesies manusia (totalitas diri pribadinya). Dari
sejumlah ayat tentang nafs makna ini
yang paling umum diungkapkan. Salah satu diantaranya adalah surat al-An’am/6:98
yang artinya: “Dan dialah yang
menciptakan kamu dari diri yang satu (adam), maka (bagimu) ada tempat
menetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah kami jelaskan tanda-tanda
(kebesaran kami) kepada orang yang mengetahui.“
·
Nafs
yang dimaknai sebagai hati (kalbu), terdapat dalam surat al-Isra’/17:25 yang
artinya: “Tuhanmu lebih mengetahui apa
yang ada didalam hatimu.”
·
Nafs
yang dimaknai sebagai jiwa (ruh) atau yang bernyawa terdapat dalam surat,
‘Ali-‘Imran/3:145 yang artinya : “yang
setiap yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allah, sebagai
ketetapan yang telah ditentukan waktunya.”
·
Nafs
yang dimaknai sebagai zat Allah yang maha suci, terdapat dalam surat
al-An’am/6:12 yang artinya “ dia telah menetapkan (sifat) kasih sayang kepada
diri-nya.”
·
Nafs
yang dimaknai sebagai kecenderungan (nafsu) terdapat dalam surat Yusuf/12:53
yang artinya “dan aku tidak (menyatakan)
diriku bebas dari kesalahan, karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong
kepada kejahatan.”
·
Nafs
sebagai sisi dalam manusia melahirkan tingkah laku terdapat dalam surat
ar-Ra’d/13:11 dan surat al-Anfal/8:53. Makna terakhir inilah yang berkaitan
dengan pendidikan, pengajaran dan pembentukan watak dan kepribadian manusia.
B. Konsep nafs
dalam Al- Qur’an
surat
al-Muzammil (73) ayat 20 surat paling awal ke tiga sesudah
al-‘Alaq dan al-Qalam, yang menjelaskan bahwa nafs adalah sesuatu perbuatan manusia yang efeknya hanyalah kepada diri manusia sendiri (anfus), bahwa apapun yang dikerjakan oleh nafs di dunia ini berupa perbuatan baik dan buruk akan ditemui balasannya di hari kiamat. Ayat selanjutnya yang turun bersama dengan kata nafs terdapat pada surat al-Mudatsir (74) ayat 38, yang menjelaskan bahwa setiap jiwa itu tergadai dengan amalnya di sisi Allah dari terikat denganNya, maka jiwa itulah sebagai jaminan (rahinah) baik jiwa itu kafir maupun mukmin, durhaka atau taat. Nafs di sini diartikan sebagai jiwa yang memiliki jaminan bahwa yang diusahakan seseorang akan memberi pengaruh terhadap jiwa orang tersebut. Ayat lain yang turun memuat kata nafs terdapat pada surat at-Takwir (81) ayat 14, menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh nafs (jiwa) besok pada hari kiamat akan menanggung semua apa yang telah dikerjakan di dunia, dan tiap-tiap jiwa besok akan mengetahui apa yang telah dikerjakan di dunia (QS:8;5), hanya jiwa yang tenanglah (nafs al-Muthmainnah) yang akan menghadap kepada Allah (QS:89;27-30).[3]
al-‘Alaq dan al-Qalam, yang menjelaskan bahwa nafs adalah sesuatu perbuatan manusia yang efeknya hanyalah kepada diri manusia sendiri (anfus), bahwa apapun yang dikerjakan oleh nafs di dunia ini berupa perbuatan baik dan buruk akan ditemui balasannya di hari kiamat. Ayat selanjutnya yang turun bersama dengan kata nafs terdapat pada surat al-Mudatsir (74) ayat 38, yang menjelaskan bahwa setiap jiwa itu tergadai dengan amalnya di sisi Allah dari terikat denganNya, maka jiwa itulah sebagai jaminan (rahinah) baik jiwa itu kafir maupun mukmin, durhaka atau taat. Nafs di sini diartikan sebagai jiwa yang memiliki jaminan bahwa yang diusahakan seseorang akan memberi pengaruh terhadap jiwa orang tersebut. Ayat lain yang turun memuat kata nafs terdapat pada surat at-Takwir (81) ayat 14, menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh nafs (jiwa) besok pada hari kiamat akan menanggung semua apa yang telah dikerjakan di dunia, dan tiap-tiap jiwa besok akan mengetahui apa yang telah dikerjakan di dunia (QS:8;5), hanya jiwa yang tenanglah (nafs al-Muthmainnah) yang akan menghadap kepada Allah (QS:89;27-30).[3]
C.
Tingkatan nafs
Para ahli tasawuf membagi perkembangan jiwa menjadi
tiga tingkatan:
- Tingkat
pertama manusia cenderung untuk hanya memenuhi naluri rendahnya yang
disebut dengan jiwa hayawaniyah/ kebinatangan (nafs ammarah) berdasar pada
surat Yusuf (12) ayat 53:
و ما ابرئ
نفسي ان النفس لامارة بالسوء الا ما رحم ربي ان ربي غفور رحيم
Artinya: “dan aku tidak menyatakan diriku bebas dari
kesalahan, karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong pada kejahatan,
kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhan ku, sesungguhnya Tuhan ku maha
pengampun, maha penyayang”
- Tingkat
kedua, manusia sudah mulai untuk menyadari kesalahan dan dosanya, ketika
telah berkenalan dengan petunjuk Ilahi, di sini telah terjadi apa yang
disebutnya kebangkitan rohani dalam diri manusia. Pada waktu itu manusia
telah memasuki jiwa kemanusiaan, disebut dengan jiwa kemanusiaan (nafs
lawwamah) berdasar pada surat al-Qayimah (73) ayat 2:
ولا اقسم
بالنفس اللوامة
Artinya:”dan aku bersumpah demi jiwa yang selalu
menyesali (diri sendiri)”
- Tingkat
ketiga adalah jiwa ketuhanan yang telah masuk dalam kepribadian manusia,
disebut jiwa ketuhanan (nafs muthmainnah) berdasar pada surat al-Fajr ayat
27-30:
يا ايتها النفس
المطمئنة، ارجعي الى ربك راضية مرضية، فادخلي في عبادي، وادخلي جنتي
Artinya:”wahai jiwa yang tenang, kembalilah pada tuhan mu dengan hati yang
ridha dan di ridhaiNya,maka masuklah kedalam golongan hamba-hamba Ku, dan
masuklah ke surga Ku”
BAB
III
Penutup
A. Kesimpulan
Dari uraian
tersebut disimpulkan bahwa kata nafs dalam al-Qur’an itu menunjuk pada
totalitas manusia.
- Nafs dapat mengandung pengertian
jiwa, tetapi juga sekaligus berarti diri, nafs dalam arti jiwa dipahami
sebagai totalitas daya-daya ruhani berikut internalisasi dan
aktualisasinya dalam kehidupan manusia.
- Nafs juga berarti pribadi
seseorang (person), nafs dapat juga berarti hati yang memberikan komando
guna mengatur seluruh potensi manusia, dan nafs juga berarti “aku” manusia.
Kata nafs
juga berarti nafsu atau syahwat, namun nafs dalam pengertian nafsu berbeda
dengan syahwat yang pejoratif, nafs bersifat netral bisa baik maupun buruk,
tetapi pada dasarnya nafs berkecenderungan baik. Nafs juga diartikan ruh
atau nyawa, tapi berbeda al-ruh, nafs mempunyai pengertian umum,
bersifat material sekaligus immaterial. Dari konsep nafs inilah para filosof
dan ahli tasawuf mengembangkan teori kepribadian manusia dalam perspektif
Islam.
Para ahli
tasawuf membagi perkembangan jiwa menjadi tiga tingkatan:
- Tingkat pertama manusia
cenderung untuk hanya memenuhi naluri rendahnya yang disebut dengan jiwa
hayawaniyah/ kebinatangan (nafs ammarah) berdasar pada surat Yusuf (12)
ayat 53.
- Tingkat kedua, manusia sudah
mulai untuk menyadari kesalahan dan dosanya, ketika telah berkenalan
dengan petunjuk Ilahi, di sini telah terjadi apa yang disebutnya
kebangkitan rohani dalam diri manusia. Pada waktu itu manusia telah
memasuki jiwa kemanusiaan, disebut dengan jiwa kemanusiaan (nafs
lawwamah) berdasar pada surat al-Qiyamah (73) ayat 2.
- Tingkat ketiga adalah jiwa
ketuhanan yang telah masuk dalam kepribadian manusia, disebut jiwa
ketuhanan (nafs muthmainnah) berdasar pada surat al- Fajr ayat 27-30.
Tingkatan jiwa ini hampir sama dengan konsep psikoanalisanya Freud yaitu
Id, Ego, dan Superego
Daftar Pustaka
Shihab,
Quraish. 1992. Tafsir al-Amanah. Jakarta: Pustaka Karim
Muhammad,
Hasyim. 2015. Psikologi Qur’ani. Semarang:
Karya Abadi Jaya
Sukanto, Mm, & Dadiri Hasyim.
1995. Nafsiologi: Refleksi Analisa Tentang Diri dan TingkahLaku Manusia. Surabaya: Risalah
Gusti
[1] Mir
Valiuddin, Zikir dan Kontemplasi dalam
Tasawuf, (Bandung:Pustaka Hidayah, 1996), hal 46-47
[2]
Hasyim Muhammad, Psikologi Qur’ani,
(Semarang:Karya Abadi Jaya, 2015), hal 1
[3] https://agorsiloku.wordpress.com/2010/09/21/konsep-nafs-dalam-al-qur%E2%80%99an/
Komentar
Posting Komentar