Langsung ke konten utama

Landasan Ontology Dan Aksiologi Psikologi Sufistik


Landasan Ontology Dan Aksiologi Psikologi Sufistik
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Psikologi dalam pandangan Kartini Kartono, adalah ilmu pengetahuan tentang tingkah laku dan kehidupan psikis (jiwani) manusia. Dari rumusan tersebut dapat ditemukan adanya beberapa unsur dalam psikologi ilmu pengetahuan, tingkah laku, dan manusia.
Psikologi sebagai unsur dalam ilmu pengetahuan, memiliki tiga landasan yaitu ontology, epistimologi, dan aksiologi. Landasan antologi dan psikologi sebagai ilmu pegetahuan berhubungan dengan materi yang menjadi objek penelaahannya. Berdasarkan objek yang telah ditelaahnya psikologi dapat disebut sebagai pengetahuan empiric, karena objeknya dalah sesuatu yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia yang mencakup kejadian-kejadian yang bersifat empirik. Namun pengertian empiric dalam antologi fenomenalogi tidak harus terbatas pada yang empiric sensual, melainkan mencakup fenomena persepsi, pemikiran, kamuan, dan pengalaman tentang sesuatu yang bersifat transenden.
Sedangkan dasar aksiologisnya berkaitan dengan seberapa jauh manfaat yang diberikan bagi kehidupan manusia. Sehingga dengan dasar aksiologi ini pelanggaran terhadap hak manusia yang paling pokok, seperti kebebasan, kemerdekaan, keadilan dan kasih sayang, dan dapat dihindarkan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Landasan ontology?
2.      Landasan aksiologi?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Landasan Ontologi
Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu ta onta berarti “yang berada”, dan logi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Maka ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang keberadaan.
Bidang pembicaraan teori hakikat luas sekali, segala yang ada yang mungkin ada, yang boleh juga mencakup pengetahuan dan nilai (yang dicarinya ialah hakikat pengetahuan dan hakikat nilai).[1] Nama lain untuk teori hakikat ialah teori tentang keadaan. Hakikat ialah realitas, realitas ialah kerealan, real artinya kenyataan yang sebenarnya, jadi hakikat adalah kenyataan yang sebenarnya, keadaan sebenarnya sesuatu, bukan keadaan sementara atau keadaan yang menipu, bukan keadaan yang meberubah.[2]
Landasan ontologi merupakan bagian dari landasan keilmuan Psikologi Humanistik. Hakikat manusia dalam Psikologi Humanistik dipandang sebagai makhluk yang kreatif yang dikendalikan oleh nilai-nilai dan pilihan-pilihannya sendiri secara genetik dan kodrati. Pandangan ini membedakan dari dua tradisi klasik didalam Psikologi Behavioristik dan Psikoanalisis yang cenderung mereduksikan manusia, dengan menghilangkan otonominya, sehingga mengarah dehumanisasi, dan sisi lain manusia dianggap hanya sebagai sosok biologis sehingga menghasilkan depersonalisasi.
Perspektif diatas secara reflective, memunculkan ciri-ciri Psikologi Humanistic yang memusatkan perhatiannya, yaitu:
a.       Pada manusia dari segi keberdayaannya, sehingga manusia tidak dipandang sebagai tanah lempung yang pasif, melainkan sebagai agen otonom yang aktif, dan sebagai pusat dari kehidupan sendiri.
b.      Pada studi filsafat (utamanya tentang etika dan nilai)
c.       Pada studi kedalaman sifat manusia
d.      Pada studi hal-hal yang subjektif, pribadi, dan batin, disamping hal-hal objektif
e.       Perhatian pada person yang mengalami, sehingga focus diorientasikan pada pengalaman sebagai fenomena primer dalam mempelajari manusia.
f.       Perhatian pada aktualisasi diri dan self concept
g.      Serta perhatian pada peranan kognitif dan afektif.
Ciri-ciri yang ada dalam Psikologi Humanistik diatas didasarkan, pada tesis bahwa manusia dipandang sebagai makhluk yang memiliki  potensi tertinggi, seperti daya analisis, sintesis, imajinasi, aktualisasi diri, kesadaran, pikiran, kehendak dan perasaan, sehingga ia memugkinkan sebagai the self determining being ysng mampu sepenuhnya menentukkan tujuan-tujuan yang paling diinginkannya dan perubhan-perubahan kehidupan yang dikehendaki
Atas dasar ciri-ciri diatas, maka secara antologi wilayah telaah Psikologi Humanistic lebih didasarkan pada realitas yang teramati, yang terpikirkan dan yang bersifat batiniah yang penuh kegaiban, dan hal-hal spiritual yang bukan konotasi agama.
Wilayah telaah Psikologi Humanistic tersebut, agaknya memiliki kesamaan dengan lingkup penelaahan Psikologi Sufistik yang tidak hanya terbatas pada wilayah yang teramati, melainkan juga pada wilayah yang terpikirkan dan wilayah yang tak terpikirkan, seperti kehidupan prakelahiran dan kehidupan pasca kehidupan yang dalam istilah transcendental disebut alam al amr atau alam metafisik.
Sedang persamaan pemikiran kedua psikologi di bidang ontology ini, disebabkan oleh persamaan paradigma, bahwa tingkah laku psikologis manusia, termasuk faktor penentunya, tidak hanya bersifat empiris inderawi, melainkan juga bersifat spiritual.
Namun pemahaman tehadap batas-batas lingkup ontologisnya dalam kedua psikologi tersebut, tidak ada kesamaan. Ketidaksejalan mengenai batas-batas lingkup ontologis ini, disebabkan oleh perbedaan kerangka piker psikologi menyangkut eksistensi manusia.
Di satu pihak, manusia menurut Psikologi Sufistik dipahami sebagai makhluk yang terdiri dari unsur jasmani dan ruhani. Unsur ruhani itu, dipandang memiliki kemungkinan untuk melakukan relasi dengan kekuatan lain di luar dirinya bersifat transcendental, disamping memiliki juga keterkaitan dengan tuntutan pertanggungjawaban segala perilaku psikologinya di saat kehidupan pasca kehidupan.
Pandangan ini berbeda dengan visi Psikologi Humanistic yang menolak wilayah studi keilmuan yang bersifat trasendental dalam konotasi agama, karena hal ini akan berlawanan dengan corak anthropocentric yang mewarnainya. Penolakan terhadap hal-hal irrasional yang berbau agama wahyu agaknya  dapat dipahami, karena psikologi humanistic tidak bersedia menerima kebenaran tentang hakikat realitas yang diwahyukan dan nila-nilai trasendental teosentris yang mengikat manusia dalam pilihan-pilihan eksistensial, seperti yang dikatakan Allport “the final truths of religion are unknow” (bahwa kebenaran terakhir dalam agama tidak dapat diketahui), atau dalam arti lain tidak dapat dibuktikan secara ilmiah.
Dengan nada yang sama, Viktor Frankl juga menyatakan “personally I doubt that in religion, it mary be possible to distinguish the true from the false by means of evidence that would be universally acceptable to man” (secara pribadi saya meragukan bahwa dalam agama terdapat kemungkinan untuk membedakan yang benar dan yang salah dengan suatu bukti nyata yang secara universal dapat diterima manusia).
Adanya pemikiran tentang ontology keilmuan yang berbasis sufistik dan humanistic tersebut, dapat memberikan implikasi bagi kemungkinan munculnya keilmuan psikologi yang mau menaruh perhatian pada realitas inderawi dan realitas yang tak terpikirkan sebagai wilayah studinya. Kemungkinan ini dapat dimaklumi, karena psikologi tersebut secara fundamental ideas, memiliki konsep dasar yang sama tentang ontology keilmuan, di mana masing-masing pihak dapat menerima realitas empiric sensual dan realitas yang tak terpikirkan sebagai objek kejiannya.
B.     Landasan Aksiologi
Aksiologi membahas tentang masalah nilai. Istilah aksiologi berasal dari kata axio dan logos, axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, dan logos artinya akal, teori, axiologi artinya teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria dan status metafisik dari nilai.[3]
Secara aksiologi landasan keilmuannya dapat dilihat dari sisi hubungan antar ilmu dan moral. Psikologi Sufistik yang prinsip-prinsipnya didasarkan atas ajaran-ajaran Tasawuf yang bersumber dari islam, tidak menghendaki keterpisahan antara ilmu (psikologi) dan system nilai atau moral, seperti yang terjadi dalam semangat keilmuan positivistik di Barat.
Ilmu, dalam pandangan psikologi Islam (termasuk Psikologi Sufistik) adalah hasil dialog antara ilmuwan dengan realitas yang diarahkan perkembangannya oleh wahyu (al-Qur’an), sehingga ilmu dipandang sebagai fungsional ajaran wahyu dan bukan sebagai science of science.
Oleh karena itu, pencarian kebenaran ilmu dalam keilmuan Psikologi Sufistik, harus disertai adanya keterlibatan moral sebagai landasan, seperti yang tergambar dalam epistemology keilmuan Al-Ghazali dan epistemologis keilmuan Dzu al Nun al Mishri.
Atas dasar epistemology keilmuan kedua tokoh Sufi tersebut, maka moral sebagai landasan pemanfaatan keilmuan Psikologi Sufistik, merupakan sebuah keniscayaan, yang jauh berbeda dengan landasan keilmuan positivism Barat yang lebih menekankan pada aspek metodologi. Sementara keilmuan Psikologi Sufistik lebih menitik beratkan pada dimensi aksiologisnya, sehingga membawa konsekuensi bahwa seluruh produk keilmuannya harus dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan kemanusiaan dalam berakidah, beribadah fan bermuamalah (ka tashhih al mu’taqadat was l ibadat wa al mu’amalat).
Ini berarti keberadaan moral atau etika sebagai landasan aksiologi keilmuan psikologi sufistik tidak diabakan, mengingat dalam struktur amalan sufistik yang tercermin pada maqam dan ahwal, memuat prinsip-prinsip akhlak mulia sebagai perwujudan dari tujuan Tasawuf (suluki).
Hanya yang menjadi pernyataan, moral yang bagaimana yang didudukan sebagai landasan aksiologi keilmuan psikologi sufistik? Tasawuf, selain menekankan pada kesempurnaan akhlak, juga memusatkan perhatiannya pada pengembangan suasana batiniah hingga memperoleh tingkat hubungan dengan Allah. Dua hal ini dipandang memiliki hubungan yang saling berkaitan. Karena menuru Ahmad seperti yang ditulis ‘  Abd al Rahman: “semakin manusia merasa sangat dekat dengan Allah, maka mereka akan termotivasi untuk selalu berbudi luhur kepada pihak lain”.
Ini artinya, bahwa keterkaitan moral dengan nilai-niai Ketuhanan dalam Tasawuf, menjadi sebuah keniscayaan. Dengan demikian, moral yang dijadikan keilmuan Psikologi Sufistik berbasis ketahuidan. Sementara moral dan tauhid yang ditempatkan sebagai landasan keilmuan ini, untuk tujuan agar selain dapat dijadikan landasan untuk menerima kebenaran wahyu sebagai sumber ilmu, juga dapat didudukkan sebagai dasar yang berfungsi menetapkan subtansi kebenaran dan menentukan model aksiologi yang diharapkan. [4]
Atas dasar moral berbasis tauhid tersebut, kebenaran yang dicapai melalui proses yang sejalan dengan Psikologi Sufistik, dapat diorientasikan untuk pembentukan tingkah laku yang bermoral yang sesuai ajaran tauhid yang didasakan pada prinsip-prinsip Islam sebagai ajaran Tasawuf. [5]



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang keberadaan. Landasan ontologi merupakan bagian dari landasan keilmuan Psikologi Humanistik. Hakikat manusia dalam Psikologi Humanistik dipandang sebagai makhluk yang kreatif yang dikendalikan oleh nilai-nilai dan pilihan-pilihannya sendiri secara genetik dan kodrati.
Aksiologi membahas tentang masalah nilai. Secara aksiologi landasan keilmuannya dapat dilihat dari sisi hubungan antar ilmu dan moral. keberadaan moral atau etika sebagai landasan aksiologi keilmuan psikologi sufistik tidak diabakan, mengingat dalam struktur amalan sufistik yang tercermin pada maqam dan ahwal, memuat prinsip-prinsip akhlak mulia sebagai perwujudan dari tujuan Tasawuf (suluki).










DAFTAR PUSTAKA
Hadziq, Abdullah, “Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik”, Semarang,
RaSAIL, 2005
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar”, Jakarta, Bumi Aksara, 2005
Tafsir, Ahmad, “Filsafat Umum”, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2003



              [1] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta, Bumi Aksara, 2005, hlm.118-119
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2003, hlm. 28

[3] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 26

       [4] Abdullah Hadziq, Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, Semarang RaSAIL, 2005, hlm.40
       [5] Ibid, hlm.40

Komentar

Postingan populer dari blog ini

shuhbah, futuwah dan itsar

keutamaan shuhbah, futuwah dan itsar BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Sahabat adalah orang yang bertemu langsung dengan Rasulullah SAW, sehingga dalam   pembahasan ilmu hadist, para sahabat sangat berperan eksistensinya. Karena para sahabat   merupakan orang yang pertama langsung bertemu dengan Rasul dan hidup di zaman Rasulullah saw., Para sahabat inilah yang meriwayatkan hadist, sebab dia mendengar dan melihat perbuatan apa yang Rasulullah lakukan di zaman hidupnya. Para sahabat sangat berperan sebagai pengganti yang melanjutkan tugas Rasulullah Saw., setelah rasul wafat. Mereka melakukan penyebaran dakwah dengan segala resiko dan tantangan yang harus dihadapinya. Sahabat Rasulullah merupakan generasi yang paling mulia, karena mereka menerima pendidikan secara langsung dari Rasulullah Saw., disamping terdidik dalam suasana wahyu, mereka pula yang menjaga sunnah Rasulullah terpelihara. Sehingga dapat sampai dan berekembang kepad...

MANUSIA MAKHLUK BI-DIMENSIONAL

MANUSIA MAKHLUK BI-DIMENSIONAL Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Bimbingan Konseling Dosen Pengampu : Prof. Dr. H.M Amin Syukur, M.A. JURUSAN TASAWUF PSIKOTERAPI FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2017 BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Manusia merupakan satu bagian dari alam semesta yang bersama-sama dengan makhluk hidup lainnya mengisi kehidupan di alam semesta ini. Dibandingkan dengan binatang, manusia memiliki fungsi tubuh dan fisiologis yang tidak berbeda. Namun, dalam hal yang lain manusia tidak dapat disamakan dengan binatang, terutama dengan kelebihan yang dimilikinya, yakni akal, yang tidak dimiliki oleh binatang. Para ahli ilmu pengetahuan tidak memiliki kesamaan pendapat mengenai manusia. Perbedaan pendapat ini disebabkan oleh adanya kekuatan dan peran multidimensional yang diperankan oleh manusia. Mereka melihat manusia hanya...

tuma'ninah, musyahadah dan ma'rifat

PEMBAHASAN A. Tuma’ninah الطمأنينة ) Secara bahasa tuma’ninah berarti tenang dan tentram. Tidak ada rasa was-was atau kawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Thuma’ninah adalah suasana ketentraman hati karena terpengaruh oleh sesuatu yang lain. Menurut al-Sarraj tuma’ninah sang hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya dan bersih ingatannya. Seseorang yang telah mendapatkan hal ini sudah dapat berkomunikasi langsung dengan Allah SWT. Menurut ibnu Qayyim, “kebenaran adalah identik dengan ketentraman, sedangkan kebohongan adalah identik dengan keraguan dan kegelisahan.” Nabi juga bersabda, kebenaran adalah sesuatu yang menenangkan hati. Thuma’ninah Waktu shalat adalah waktu singkat yang sangat berharga bagi seorang muslim, karena ia sedang menghadap dan bermunajahat kepada Rabbnya yang Maha Tinggi dan Maha Tinggi dan Maha Agung oleh karena itu hendaknya berusaha untuk mening...